Minggu, 04 Juli 2010

ASKEP KLIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN: DIABETES MELLITUS



ASKEP KLIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN: DIABETES MELLITUS
Oleh: Iwan Sain, S.Kp, M.Kes

A. KONSEP MEDIS

1. Pengertian

Diabetes Melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetic dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat (Price dan Wilson, 1995).
Diabetes melitus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai keluhan metabolic akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada berbagai organ dan system tubuh seperti mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah, dan lain-lain (Mansjoer, 1999).
Diabetes melitus adalah sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Brunner dan Suddarth, 2002).
Diabetes mellitus adalah sindrom yang disebabkan oleh ketidaseimbangan antara tuntutan dan suplai insulin (H. Rumahorbo, 1999).

2. Etiologi
Penyebab diabetes mellitus sampai sekarang belum diketahui dengan pasti tetapi umumnya diketahui karena kekurangan insulin adalah penyebab utama dan faktor herediter memegang peranan penting.

a. Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)
Sering terjadi pada usia sebelum 30 tahun. Biasanya juga disebut Juvenille Diabetes, yang gangguan ini ditandai dengan adanya hiperglikemia (meningkatnya kadar gula darah).
Faktor genetik dan lingkungan merupakan faktor pencetus IDDM. Oleh karena itu insiden lebih tinggi atau adanya infeksi virus (dari lingkungan) misalnya coxsackievirus B dan streptococcus sehingga pengaruh lingkungan dipercaya mempunyai peranan dalam terjadinya DM.
Virus atau mikroorganisme akan menyerang pulau – pulau langerhans pankreas, yang membuat kehilangan produksi insulin. Dapat pula akibat respon autoimmune, dimana antibody sendiri akan menyerang sel bata pankreas. Faktor herediter, juga dipercaya memainkan peran munculnya penyakit ini (Brunner & Suddart, 2002)

b. Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
Virus dan kuman leukosit antigen tidak nampak memainkan peran terjadinya NIDDM. Faktor herediter memainkan peran yang sangat besar. Riset melaporkan bahwa obesitas salah satu faktor determinan terjadinya NIDDM sekitar 80% klien NIDDM adalah kegemukan. Overweight membutuhkan banyak insulin untuk metabolisme. Terjadinya hiperglikemia disaat pankreas tidak cukup menghasilkan insulin sesuai kebutuhan tubuh atau saat jumlah reseptor insulin menurun atau mengalami gangguan. Faktor resiko dapat dijumpai pada klien dengan riwayat keluarga menderita DM adalah resiko yang besar. Pencegahan utama NIDDM adalah mempertahankan berat badan ideal. Pencegahan sekunder berupa program penurunan berat badan, olah raga dan diet. Oleh karena DM tidak selalu dapat dicegah maka sebaiknya sudah dideteksi pada tahap awal tanda-tanda/gejala yang ditemukan adalah kegemukan, perasaan haus yang berlebihan, lapar, diuresis dan kehilangan berat badan, bayi lahir lebih dari berat badan normal, memiliki riwayat keluarga DM, usia diatas 40 tahun, bila ditemukan peningkatan gula darah (Brunner & Suddart, 2002)

3. Insiden
Tingkat prevalensi dari DM adalah tinggi, diduga terdapat sekitar 10 juta kasus diabetes di USA dan setiap tahunnya didiagnosis 600.000 kasus baru serta 75 % penderita DM akhirnya meninggal karena penyakit vaskuler. Penyakit ini cenderung tinggi pada negara maju dari pada negara sedang berkembang, karena perbedaan kebiasaan hidup. Dampak ekonomi jelas terlihat akibat adanya biaya pengobatan dan hilangnya pendapatan. Disamping konsekuensi finansial karena banyaknya komplikasi seperti kebutaan dan penyakit vaskuler. Perbandingan antara wanita dan pria yaitu 3 : 2, hal ini kemungkinan karena faktor obesitas dan kehamilan (Price dan Wilson, 1995).

4. Anatomi dan Fisiologi
a. Anatomi Pankreas
Pankreas terletak melintang dibagian atas abdomen dibelakang gaster didalam ruang retroperitoneal. Disebelah kiri ekor pankreas mencapai hilus limpa diarah kronio – dorsal dan bagian atas kiri kaput pankreas dihubungkan dengan corpus pankreas oleh leher pankreas yaitu bagian pankreas yang lebarnya biasanya tidak lebih dari 4 cm, arteri dan vena mesentrika superior berada dileher pankreas bagian kiri bawah kaput pankreas ini disebut processus unsinatis pankreas. Pankreas terdiri dari dua jaringan utama yaitu :
1) Asinus, yang mengekskresikan pencernaan ke dalam duodenum.
2) Pulau Langerhans, yang tidak mempunyai alat untuk mengeluarkan getahnya
namun sebaliknya mensekresi insulin dan glukagon langsung kedalam darah.
Pankreas manusia mempunyai 1 – 2 juta pulau langerhans, setiap pulau langerhans hanya berdiameter 0,3 mm dan tersusun mengelilingi pembuluh darah kapiler.
Pulau langerhans mengandung tiga jenis sel utama, yakni sel-alfa, beta dan delta. Sel beta yang mencakup kira-kira 60 % dari semua sel terletak terutama ditengah setiap pulau dan mensekresikan insulin. Granula sel B merupakan bungkusan insulin dalam sitoplasma sel. Tiap bungkusan bervariasi antara spesies satu dengan yang lain. Dalam sel B , molekul insulin membentuk polimer yang juga kompleks dengan seng. Perbedaan dalam bentuk bungkusan ini mungkin karena perbedaan dalam ukuran polimer atau agregat seng dari insulin. Insulin disintesis di dalam retikulum endoplasma sel B, kemudian diangkut ke aparatus golgi, tempat ia dibungkus didalam granula yang diikat membran. Granula ini bergerak ke dinding sel oleh suatu proses yang tampaknya sel ini yang mengeluarkan insulin ke daerah luar dengan eksositosis. Kemudian insulin melintasi membran basalis sel B serta kapiler berdekatan dan endotel fenestrata kapiler untuk mencapai aliran darah (Ganong, 1995). Sel alfa yang mencakup kira-kira 25 % dari seluruh sel mensekresikan glukagon. Sel delta yang merupakan 10 % dari seluruh sel mensekresikan somatostatin (Pearce, 2000)

b. Fisiologi Pankreas
Kelenjar pankreas dalam mengatur metabolisme glukosa dalam tubuh berupa hormon-hormon yang disekresikan oleh sel – sel dipulau langerhans. Hormon-hormon ini dapat diklasifikasikan sebagai hormon yang merendahkan kadar glukosa darah yaitu insulin dan hormon yang dapat meningkatkan glukosa darah yaitu glukagon.
Fisiologi Insulin :
Hubungan yang erat antara berbagai jenis sel dipulau langerhans menyebabkan timbulnya pengaturan secara langsung sekresi beberapa jenis hormone lainnya, contohnya insulin menghambat sekresi glukagon, somatostatin menghambat sekresi glukagon dan insulin.
Insulin dilepaskan pada suatu kadar batas oleh sel-sel beta pulau langerhans. Rangsangan utama pelepasan insulin diatas kadar basal adalah peningkatan kadar glukosa darah. Kadar glukosa darah puasa dalam keadaan normal adalah 80-90 mg/dl. Insulin bekerja dengan cara berkaitan dengan reseptor insulin dan setelah berikatan, insulin bekerja melalui perantara kedua untuk menyebabkan peningkatan transportasi glukosa kedalam sel dan dapat segera digunakan untuk menghasilkan energi atau dapat disimpan didalam hati (Guyton & Hall, 1999)

5. Patofisiologi
a. DM Tipe I
Pada Diabetes tipe I terdapat ketidak mampuan pankreas menghasilkan insulin karena hancurnya sel-sel beta pulau langerhans. Dalam hal ini menimbulkan hiperglikemia puasa dan hiperglikemia post prandial.
Dengan tingginya konsentrasi glukosa dalam darah, maka akan muncul glukosuria (glukosa dalam darah) dan ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan (diuresis osmotic) sehingga pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliurra) dan rasa haus (polidipsia).
Defesiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak sehingga terjadi penurunan berat badan akan muncul gejala peningkatan selera makan (polifagia). Akibat yang lain yaitu terjadinya proses glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan glukogeonesis tanpa hambatan sehingga efeknya berupa pemecahan lemak dan terjadi peningkatan keton yangdapat mengganggu keseimbangan asam basa dan mangarah terjadinya ketoasidosis (Corwin, 2000)

b. DM Tipe II
Terdapat dua masalah utama pada DM Tipe II yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan berkaitan pada reseptor kurang dan meskipun kadar insulin tinggi dalam darah tetap saja glukosa tidak dapat masuk kedalam sel sehingga sel akan kekurangan glukosa.
Mekanisme inilah yang dikatakan sebagai resistensi insulin. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah yang berlebihan maka harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Namun demikian jika sel-sel beta tidak mampu mengimbanginya maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadilah DM tipe II (Corwin, 2000)

6. Manifestasi Klinik
a. Poliuria
Kekurangan insulin untuk mengangkut glukosa melalui membrane dalam sel menyebabkan hiperglikemia sehingga serum plasma meningkat atau hiperosmolariti menyebabkan cairan intrasel berdifusi kedalam sirkulasi atau cairan intravaskuler, aliran darah ke ginjal meningkat sebagai akibat dari hiperosmolariti dan akibatnya akan terjadi diuresis osmotic (poliuria).

b. Polidipsia
Akibat meningkatnya difusi cairan dari intrasel kedalam vaskuler menyebabkan penurunan volume intrasel sehingga efeknya adalah dehidrasi sel. Akibat dari dehidrasi sel mulut menjadi kering dan sensor haus teraktivasi menyebabkan seseorang haus terus dan ingin selalu minum (polidipsia).

c. Poliphagia
Karena glukosa tidak dapat masuk ke sel akibat dari menurunnya kadar insulin maka produksi energi menurun, penurunan energi akan menstimulasi rasa lapar. Maka reaksi yang terjadi adalah seseorang akan lebih banyak makan (poliphagia).

d. Penurunan berat badan
Karena glukosa tidak dapat di transport kedalam sel maka sel kekurangan cairan dan tidak mampu mengadakan metabolisme, akibat dari itu maka sel akan menciut, sehingga seluruh jaringan terutama otot mengalami atrofidan penurunan secara otomatis.

e. Malaise atau kelemahan (Brunner & Suddart, 2002)

7. Komplikasi
Diabetes Mellitus bila tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan
komplikasi pada berbagai organ tubuh seperti mata, ginjal, jantung, pembuluh
darah kaki, saraf, dan lain-lain (corwin, 2000)

8. Tes Diagnostik
a. Adanya glukosa dalam urine. Dapat diperiksa dengan cara benedict (reduksi)
yang tidak khasuntuk glukosa, karena dapat positif pada diabetes.
b. Diagnostik lebih pasti adalah dengan memeriksa kadar glukosa dalam darah
dengan cara Hegedroton Jensen (reduksi).
1) Gula darah puasa tinggi < 140 mg/dl.
2) Test toleransi glukosa (TTG) 2 jam pertama < 200 mg/dl.
3) Osmolitas serum 300 m osm/kg.
4) Urine = glukosa positif, keton positif, aseton positif atau negative (Bare
& suzanne, 2002)

8. Penatalaksanaan Medik
Diabetes Mellitus jika tidak dikelola dengan baik akamn menimbulkan berbagai penyakit dan diperlukan kerjasama semua pihak ditingkat pelayanan kesehatan. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan berbagai usaha dan akan diuraikan sebagai berikut :
a. Perencanaan Makanan.
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak yang sesuai dengan kecukupan gizi baik yaitu :
1) Karbohidrat sebanyak 60 – 70 %
2) Protein sebanyak 10 – 15 %
3) Lemak sebanyak 20 – 25 %

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut dan kegiatan jasmani. Untuk kepentingan klinik praktis, penentuan jumlah kalori dipakai rumus Broca yaitu Barat Badan Ideal = (TB-100)-10%, sehingga didapatkan =
1) Berat badan kurang = < 90% dari BB Ideal
2) Berat badan normal = 90-110% dari BB Ideal
3) Berat badan lebih = 110-120% dari BB Ideal
4) Gemuk = > 120% dari BB Ideal.

Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari BB Ideal dikali kelebihan kalori basal yaitu untuk laki-laki 30 kkal/kg BB, dan wanita 25 kkal/kg BB, kemudian ditambah untuk kebutuhan kalori aktivitas (10-30% untuk pekerja berat). Koreksi status gizi (gemuk dikurangi, kurus ditambah) dan kalori untuk menghadapi stress akut sesuai dengan kebutuhan.

Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut diatas dibagi dalam beberapa porsi yaitu :
1) Makanan pagi sebanyak 20%
2) Makanan siang sebanyak 30%
3) Makanan sore sebanyak 25%
4) 2-3 porsi makanan ringan sebanyak 10-15 % diantaranya.

b. Latihan Jasmani
Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30 menit yang disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penyakit penyerta.
Sebagai contoh olah raga ringan adalah berjalan kaki biasa selama 30 menit, olehraga sedang berjalan cepat selama 20 menit dan olah raga berat jogging.
c. Obat Hipoglikemik
1) Sulfonilurea

Obat golongan sulfonylurea bekerja dengan cara :
1) Menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan.
2) Menurunkan ambang sekresi insulin.
3) Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa.

Obat golongan ini biasanya diberikan pada pasien dengan BB normal dan masih bisa dipakai pada pasien yang beratnya sedikit lebih.
Klorpropamid kurang dianjurkan pada keadaan insufisiensi renal dan orangtua karena resiko hipoglikema yang berkepanjangan, demikian juga gibenklamid. Glukuidon juga dipakai untuk pasien dengan gangguan fungsi hati atau ginjal.

2) Biguanid
Preparat yang ada dan aman dipakai yaitu metformin.
Sebagai obat tunggal dianjurkan pada pasien gemuk (imt 30) untuk pasien yang berat lebih (imt 27-30) dapat juga dikombinasikan dengan golongan sulfonylurea

3) Insulin
Indikasi pengobatan dengan insulin adalah :

a) Semua penderita DM dari setiap umur (baik IDDM maupun NIDDM) dalam keadaan ketoasidosis atau pernah masuk kedalam ketoasidosis.

b) DM dengan kehamilan/ DM gestasional yang tidak terkendali dengan diet (perencanaan makanan).

c) DM yang tidak berhasil dikelola dengan obat hipoglikemik oral dosif maksimal. Dosis insulin oral atau suntikan dimulai dengan dosis rendah dan dinaikkan perlahan – lahan sesuai dengan hasil glukosa darah pasien. Bila sulfonylurea atau metformin telah diterima sampai dosis maksimal tetapi tidak tercapai sasaran glukosa darah maka dianjurkan penggunaan kombinasi sulfonylurea dan insulin.

d) Penyuluhan untuk merancanakan pengelolaan sangat penting untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Edukator bagi pasien diabetes yaitu pendidikan dan pelatihan mengenai pengetahuan dan keterampilan yang bertujuan menunjang perubahan perilaku untuk meningkatkan pemahaman pasien akan penyakitnya, yang diperlukan untuk mencapai keadaan sehat yang optimal. Penyesuaian keadaan psikologik kualifas hidup yang lebih baik. Edukasi merupakan bagian integral dari asuhan keperawatan diabetes (Bare & Suzanne, 2002)

B. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian (Doengoes, 2001)
a. Aktivitas / istrahat.
Tanda :
1) Lemah, letih, susah, bergerak / susah berjalan, kram otot, tonus otot menurun.
2) Tachicardi, tachipnea pada keadaan istrahat/daya aktivitas.
3) Letargi / disorientasi, koma.
b. Sirkulasi
Tanda :
1) Adanya riwayat hipertensi : infark miokard akut, kesemutan pada ekstremitas dan tachicardia.
2) Perubahan tekanan darah postural : hipertensi, nadi yang menurun / tidak ada.
3) Disritmia, krekel : DVJ
c. Neurosensori
Gejala :
Pusing / pening, gangguan penglihatan, disorientasi : mengantuk, lifargi, stuport / koma (tahap lanjut). Sakit kepala, kesemutan, kelemahan pada otot, parestesia, gangguan penglihatan, gangguan memori (baru, masa lalu) : kacau mental, refleks fendo dalam (RTD) menurun (koma), aktifitas kejang.
d. Nyeri / Kenyamanan
Gejala : Abdomen yang tegang / nyeri (sedang berat), wajah meringis dengan palpitasi : tampak sangat berhati – hati.
e. Keamanan
Gejala :
1) Kulit kering, gatal : ulkus kulit, demam diaporesis.
2) Menurunnya kekuatan immune / rentang gerak, parastesia / paralysis otot termasuk otot – otot pernapasan (jika kadar kalium menurun dengan cukup tajam).
3) Urine encer, pucat, kuning, poliuria (dapat berkembang menjadi oliguria / anuria jika terjadi hipololemia barat).
4) Abdomen keras, bising usus lemah dan menurun : hiperaktif (diare).
f. Pemeriksaan Diagnostik
Gejala :
1) Glukosa darah : meningkat 100 – 200 mg/dl atau lebih.
2) Aseton plasma : positif secara menyolok.
3) Asam lemak bebas : kadar lipid dan kolesterol meningkat.
4) Osmolaritas serum : meningkat tetapi biasanya kurang dari 330 m osm/l.



2. Bagan Patofisiologi dan Penyimpangan Terhadap KDM

Defisiensi Insulin peningkatan Katabolisme/Glukoneogenesis



efek terhadap mikrovaskuler Transpor glukosa ke dalam sel Katabolisme protein penurunan penyerapan asam amino


Retina tidak mendapat oksigen metabolisme glukosa dimitokondria penurunan ATP asam amino darah meningkat


Hipoksia peningkatan glukosa darah penurunan energi glukoneogenesis meningkat


Resiko Kebutaan Hiperglikemia Hambatan mobilitas fisik pemakaian lemak dan protein meningkat

Perubahan glukosa ke asam lemak Ketosis

Resiko Gangguan persepsi sensori efek mikrovaskuler aterosklerosis dinding intima napas berbau keton mual, muntah


nefropati mikroangiopati out put berlebihan


penurunan permeabilitas neuron neuropati


Diuresis meningkat penurunan sensitifitas perifer nutrisi kurang dari kebutuhan


Defisit volume cairan mudah trauma Ketidakmampuan beraktifitas
Kerusakan integritas kulit

Terputusnya kontinuitas jaringan perubahan status kesehatan Penurunan rawat diri


pelepasan mediator kimia kurang informasi kurang pengetahuan


stimulasi reseptor nyeri nyeri invasi kuman/bakteri patogen resiko infeksi

2. Diagnosa Keperawatan
a. Defisit volume cairan berhubungan dengan hiperglikemia, diare, muntah, poliuria, evaporasi.
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan defisiensi insulin/penurunan intake oral : anoreksia, abnominal pain, gangguan kesadaran/hipermetabolik akibat pelepasan hormone stress, epinefrin, cortisol, GH atau karena proses luka.
c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka.
d. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan fungsi leucosit/ gangguan sirkulasi.
e. Resiko gangguan persepsi sensoris : penglihatan berhubungan dengan perubahan fungsi fisiologis akibat ketidakseimbangan glukosa/insulin atau karena ketidakseimbangan elektrolit.
f. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan energi, perubahan kimia darah, insufisiensi insulin, peningkatan kebutuhan energi, infeksi, hipermetabolik.
g. Nyeri berhubungan dengan adanya ulcus (luka diabetes mellitus).
h. Penurunan rawat diri berhubungan dengan kelemahan.
i. Kurang pengetahuan mengenai penyakitnya, prognosis penyakit dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kesalahan interprestasi (Doengoes, 2001)

4. Perencanaan / Intervensi
a. NDX : Defisit volume cairan berhubungan dengan hiperglikemia, diare, muntah, poliuria, evaporasi
Tujuan :
Klien akan mendemonstrasikan hidrasi adekuat, dengan kriteria :
1) Nadi perifer dapat teraba, turgor kulit baik.
2) Vital sign dalam batas normal, haluaran urine lancer.
3) Kadar elektrolit dalam batas normal
Intervensi :
Intervensi Rasional
1. Kaji pengeluaran urine
2. Pantau tanda-tanda vital
3. Monitor pola napas
4. Observasi frekuensi dan kualitas pernapasan
5. Timbang berat bada
6. Pemberian cairan sesuai dengan indikasi

1. Membantu dalam memperkirakan kekurangan volume total, tanda dan gejala
mungkin sudah ada pada beberapa waktu sebelumnya, adanya proses infeksi
mengakibatkan demam dan keadaan hipermetabolik yang menigkatkan kehilangan
cairan
2. Perubahan tanda-tanda vital dapat diakibatkan oleh rasa nyeri dan merupakan
indikator untuk menilai keadaan perkembangan penyakit.
3. Paru-paru mengeluarkan asam karbonat melalui pernapasan menghasilkan
alkalosis respiratorik, ketoasidosis pernapasan yang berbau aseton
berhubungan dengan pemecahan asam aseton dan asetat
4. Koreksi hiperglikemia dan asidosis akan mempengaruhi pola dan frekuensi
pernapasan. Pernapasan dangkal, cepat, dan sianosis merupakan indikasi dari
kelelahan pernapasan, hilangnya kemampuan untuk melakukan kompensasi pada
asidosis.
5. Memberikan perkiraan kebutuhan akan cairan pengganti fungsi ginjal dan
keefektifan dari terapi yang diberikan.
6. Tipe dan jenis cairan tergantung pada derajat kekurangan cairan dan respon

b. NDX: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan defisiensi insulin/penurunan intake oral: anoreksia, abnominal pain, gangguan kesadaran/hipermetabolik akibat pelepasan hormone stress, epinefrin, cortisol, GH atau karena proses luka.
Tujuan :
Klien akan mengkonsumsi secara tepat jumlah kebutuhan kalori atau nutrisi yang di programkan dengan kriteria :
1) Peningkatan barat badan.
2) Pemeriksaan albumin dan globulin dalam batas normal.
3) Turgor kulit baik, mengkonsumsi makanan sesuai program.
Intervensi :
INTERVENSI RASIONAL
1. Timbang berat badan.
2. Auskultasi bowel sound.
3. Berikan makanan lunak / cair.

1. Penurunan berat badan menunjukkan tidak ada kuatnya nutrisi klien.
2. Hiperglikemia dan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit menyebabkan
penurunan motilifas usus. Apabila penurunan motilitas usus berlangsung lama
sebagai akibat neuropati syaraf otonom yang berhubungan dengan sistem
pencernaan.
3. Pemberian makanan oral dan lunak berfungsi untuk meresforasi fungsi usus dan
diberikan pada klien dgn tingkat kesadaran baik.
4. Observasi tanda hipoglikemia misalnya : penurunan tingkat kesadaran,
permukaan teraba dingin, denyut nadi cepat, lapar, kecemasan dan nyeri
kepala.
5. Berikan Insulin.
4. Metabolisme KH akan menurunkan kadarglukosa dan bila saat itu
diberikan insulin akan menyebabkan hipoglikemia.

5. Akan mempercepat pengangkutan glukosa kedalam sel.


c. NDX : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka.
Tujuan : Klien akan mempertahankan integritas kulit tetap utuh dan terhindar dari inteksi dengan kriteria :
1) Tidak ada tanda – tanda infeksi.
2) Tidak ada luka.
3) Tidak ditemukan adanya perubahan warna kulit.
Intervensi :
INTERVENSI RASIONAL
1. Observasi tanda – tanda infeksi

2. Ajarkan klien untuk mencuci tangan dengan baik, untuk mempertahankan kebersihan tangan pada saat melakukan prosedur. 1. Kemerahan, edema, luka drainase, cairan dari luka menunjukkan adanya infeksi.
2. Mencegah cross contamination.
3. Pertahankan kebersihan kulit.

4. Dorong klien mengkonsumsi diet secara adekuat dan intake cairan 3000 ml/hari.

5. Antibiotik bila ada indikasi 3. Gangguan sirkulasi perifer dapat terjadi bila menempatkan pasien pada kondisi resiko iritasi kulit.
4. Peningkatan pengeluaran urine akan mencegah statis dan mempertahankan PH urine yang dapat mencegah terjadinya perkembangan bakteri.
5. Mencegah terjadinya perkembangan bakteri.

d. NDX : Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan fungsi leucosit/ gangguan sirkulasi
Tujuan :
Klien akan menunjukkan tidak adanya tanda “inteksi, dengan kriteria :
a. Luka sembuh
b. Tidak ada edema sekitar luka.
c. Tidak terdapat pus, luka cepat mongering.
Intervensi :
INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji keadaan kulit yangrusak
2. Bersihkan luka dengan teknik septic dan antiseptic
3. Kompres luka dengan larutan Nacl
4. Anjurkan pada klien agarmenjaga predisposisi terjadinya lesi.
5. Pemberian obat antibiotic.

1. Mengetahui keadaan peradangan untuk membantu dalam menanggulangi atau dapat
dilakukan pencegahan.
2. Mencegah terjadinya inteksi sekunder pada anggota tubuh yang lain.
3. Selain untuk membersihkan luka dan juga untuk mempercepat pertumbuhan
jaringan
4. Kelembaban dan kulit kotorsebagai predisposisi terjadinya lesi.
5. Antibiotik untuk membunuh kuman.

e. NDX : Resiko gangguan persepsi sensoris : penglihatan berhubungan dengan perubahan fungsi fisiologis akibat ketidakseimbangan glukosa/insulin atau karena ketidakseimbangan elektrolit.
Tujuan :
Klien akan mempertahankan fungsi penglihatan
Intervensi :
INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji derajat dan tipe kerusakan
2. Latih klien untuk membaca.

3. Orientasi klien dengan lingkungan.
4. Gunakan alat bantu penglihatan.
5. Panggil klien dengan nama, orientasikan kembali sesuai dengan kebutuhannya
tempat, orang dan waktu.
6. Pelihara aktifitas rutin.
7. Lindungi klien dari cedera.

1. Mengidentifikasi derajat kerusakan penglihatan
2. Mempertahankan aktivitas visual klien.
3. Mengurangi cedera akibat disorientasi
4. Melatih aktifitas visual secara bertahap.
5. Menurunkan kebingungan dan membantu untuk mempertahankan kontak dengan
realita.
6. Membantu memelihara panen tetap berhubungan dengan realitas dan
mempertahankan orientalasi pada lingkungannya.
7. Pasien mengalami disorientasi merupakan awal kemungkinan timbulnya cedera,
terutama macam hari dan perlu pencegahan sesuai indikasi.

f. NDX : Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan energi, perubahan kimia darah, insufisiensi insulin, peningkatan kebutuhan energi, infeksi, hipermetabolik

Tujuan :
Klien akan menunjukkan perbaikan kemampuan aktivitas dengan kriteria :
a. mengungkapkan peningkatan energi
b. mampu melakukan aktivitas rutin biasanya
c. menunjukkan aktivitas yang adekuat
d. melaporkan aktivitas yang dapat dilakukan

Intervensi :
INTERVENSI RASIONAL
1. Diskusikan dengan klien kebutuhan akan aktivitas
2. Berikan aktivitas alternative
3. Pantau tanda tanda vital
4. Diskusikan cara menghemat kalori selama mandi, berpindah tempat dan
sebagainya
5. Tingkatkan partisipasi pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari yang
dapat ditoleransi

1. Pendidikan dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan tingkat aktivitas
meskipun pasien mungkin sangat lemah
2. Mencegah kelelahan yang berlebihan
3. Mengindikasikan tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi secara fisiologis
4. Pasien akan dapat melakukan lebih banyak kegiatan dengan penurunan kebutuhan
akan energi pada setiap kegiatan
5. Meningkatkan kepercayaan diri yang positif sesuai tingkat aktivitas yang
dapat ditoleransi pasien


g. NDX: Nyeri berhubungan dengan adanya ulcus (luka diabetes mellitus).
Tujuan :
Klien akan menunjukkan nyeri berkurang / teratasi dengan kriteria :
a. Klien tidak mengeluh nyeri
b. Ekspresi wajah ceria

Intervensi :
INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji tingkat nyeri
2. Observasi tanda-tanda vital
3. Ajarkan klien tekhnik relaksasi
4. Ajarkan klien tekhnik Gate Control
5. Pemberian analgetik

1. Nyeri disebabkan oleh penurunan perfusi jaringan atau karena peningkatan
asam laktat sebagai akibat deficit insulin
2. Pasien dengan nyeri biasanya akan dimanifestasikan dengan peningkatan vital
sign terutama perubahan denyut nadi dan pernafasan
3. Nafas dalam dapat meningkatkan oksigenasi jaringan
4. Memblokir rangsangan nyeri pada serabut saraf
5. Analgetik bekerja langsung pada reseptor nyeri dan memblokir rangsangan
nyeri sehingga respon nyeri dapat diminimalkan

h. NDX. Penurunan rawat diri berhubungan dengan kelemahan
Tujuan :
Klien akan mendemonstrasikan penurunan rawat diri, dengan kriteria :
a. Kuku pendek dan bersih
b. Kebutuhan dapat dioenuhi secara bertahap
c. Mandi sendiri tanpa bantuan

Intervensi :
INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji kemampuan klien dalam pemenuhan rawat diri
2. Berikan aktivitas secara bertahap
3. Bantu klien dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari
4. Bantu klien (memotong kuku)

1. Mengidentifikasi tingkat toleransi aktivitas klien
2. Melatih tingkat kemampuan rawat diri secara bertahap
3. Meningkatkan rasa nyaman klien dan memperbaiki sirkulasi ke perifer
4. Kuku panjang dapat digunakan untuk menggaruk


i. NDx.: Kurang pengetahuan mengenai penyakitnya, prognosis penyakit dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kesalahan interprestasi
Tujuan :
Klien akan melaporkan pemahaman tentang penyakitnya dengan kriteria : Mengungkapkan pemahaman tentang penyakitnya

Intervensi :
Intervensi Rasional
1. Pilih berbagai strategi belajar
2. Diskusikan tentang rencana diet
3. Diskusikan tentang faktor-faktor yang memegang peranan dalam kontrol DM


1. Penggunaan cara yang berbeda tentang mengakses informasi, meningkatkan
penerapan pada individu yang belajar
2. Kesadaran tentang pentingnya kontrol diet akan membantu pasien dalam
merencanakan makan/mentaati program, serat dapat memperlambat absorbsi
glukosa yang akan menurunkan fluktuasi kadar gula dalam darah
3. Diskusikan faktor-faktor yang memegang peranan dalam kontrol DM yang dapat
menurunkan berulangnya kejadian ketoasidosis.

5. Implementasi
Merupakan tahap dimana rencana keperawatan dilaksanakan sesuai dengan intervensi. Tujuan dari implementasi adalah membantu klien dalam mencapai peningkatan kesehatan baik yang dilakukan secara mandiri maupun kolaborasi dan rujukan.

6. Evaluasi
Merupakan tahap akhir yang bertujuan untuk mencapai kemampuan klien dan tujuan dengan melihat perkembangan klien. Evaluasi klien diabetes mellitus dilakukan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya pada tujuan

DAFTAR PUSTAKA

Bare & Suzanne, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume 2, (Edisi 8), EGC, Jakarta

Carpenito, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, (Edisi 2), EGC, Jakarta

Corwin,. J. Elizabeth, 2001, Patofisiologi, EGC, Jakarta

Doenges, E. Marilynn dan MF. Moorhouse, 2001, Rencana Asuhan Keperawatan, (Edisi III), EGC, Jakarta.

FKUI, 1979, Patologi, FKUI, Jakarta

Ganong, 1997, Fisiologi Kedokteran, EGC, Jakarta

Gibson, John, 2003, Anatomi dan Fisiologi Modern untuk Perawat, EGC, Jakarta

Guyton dan Hall, 1997, Fisiologi Kedokteran, (Edisi 9), EGC, Jakarta

Hinchliff, 1999, Kamus Keperawatan, EGC, Jakarta

Price, S. A dan Wilson, L. M, 1995, Patofisiologi, EGC, Jakarta

Sherwood, 2001, Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, (edisi 21), EGC, Jakarta

Sobotta, 2003, Atlas Anatomi, (Edisi 21), EGC, Jakarta

Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan sistem pencernaan: HIL

Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan sistem pencernaan: HIL
Oleh: Iwan Sain, S.Kp, M.Kes

1. Konsep Medis

A. Pengertian
Hernia Ingunalis Lateral adalah hernia yang melalui alunus ingunalis intermus/lateralis menyelusuri kanalis ingunalis dan keluar dari rongga perut melalui analus ingunalis ekserna/medilis (Mansjoer A, 2000).

B. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pencernaan
Saluran gantrointestinal (gastointestinal tractus), juga disebut saluran digestik (digestive tract) adalah sebuah saluran berotot yang memanjang mulai dari mulut sampa ke anus. Pada prinsipnya fungsi utama sistem gastrointestinal (GI) adalah mensuplai nutrisi ke sel-sel tubuh yang diperoleh melalui proses Ingestion yang terjadi pada saat mulai intake makanan masuk kedalam mulut, Digestion dimana peristiwa mencerna makanan dimulai dalam lambung dan usus halus dan Absorption yang terjadi terutama dalam usus halus dan juga dalam usus besar. Proses eliminasi adalah pengeluaran sisa-sisa hasil pencernaan.
Sistem GI (Digestive System) terdiri dari saluran GI dan organ beserta kelenjar yang terkati dengan pencernaan yaitu mulut, esofagus, lambung, usus halus, usus besar, rektum dan anus. Sedangkan organ-organ yang berhubungan adalah hati, pankreas, dan kandung empedu.
Faktor psikologis atau emosi seperti stress dan kecemasan akan mempengaruhi fungsi-fungsi GI. Stress dapat dimeanifestasikan sebagai anoreksia, nyeri epigastrium dan abdomen, atau diare. Faktor fisik yang dapat mempengaruhi fungsi-fungsi GI seperti intake diet, mengkonsumsi minuman/makanan yang beralkohol atau caffeine, merokok, kelemahan. Beberapa gangguan organik yang mempengaruhi misalnya penyakit peptic ulcer, ulceratisi colitis yang dapat menyebabkan gangguan GI.

Struktur dan Fungsi Sistem GI
Saluran GI merupakan tabung sepanjang 9 meter yang berentang mulai dari mulut sampai ke anus. Pada umumnya saluran ini terdiri dari 4 lapisan yaitu mulai dari dalam lapisan mukosa, submukosa, otot dan serosa.

Saluran GI diaktifkan oleh sistem saraf otonom yaitu saraf parasimpatis, sedang saraf simpatis bersifat menghambat sistem GI. Misalnya adanya peristaltik yang meningkat karena perangsangan /stimulasi saraf parasimpatis dan terjadi penurunan akibat stimulasi saraf simpatis.

Sistem GI dan organ yang terkait (organ asesoris) rata-rata memperoleh cardiac output sebanyak 25 % sampai dengan 30 %. Sirkulasi dalam sistem GI terutama pada aliran darah vena dimana Sistem GI mengalirkan darah vena melalui vena portal. Bagian atas sistem GI menerima darah dari arteri splanikus. Usus halus menerima darah dari cabang arteri hepatik dan arteri mesenterika superior. Usus besar menerima darah terutama dari arteri mesenterika superior dan inferior.
Dua jenis gerakan saluran GI yaitu mencampur dan mengaduk. Gerakan ini menyebabkan teriadinya segmentasi dan peristaltik. Sekresi dari sistem GI yang terdiri dari enzim dan hormon untuk mendukung pencernaan, dan mukus akan memberikan perlindungan dan melunakkan, juga air dan elektrolit.

Organ abdominal dibungkus oleh peritoneum. Terdapat 2 lapisan yaitu peritoneum parieteal yang merupakan dinding dari rongga peritoneum dan peritoneum visceral yang membungkus organ abdomen. Berikut ini akan diuraikan sistem pencernaan tersebut sebagai berikut:

a. M u l u t
Rongga mulut dibentuk oleh pipi, langit-langit keras, dan langit-langit lembut. Lidah pada bagian dasar rongga mulut. Bibir merupakan jaringan penutup yang terdapat pada bagian depan mulut yang berfungsi membuka/menutup mulut.

Fungsi mulut adalah :
1. Mengunyah
2. Sekresi saliva dari kelenjar parotis, sublingual, dan submandibularis
3. Menelan yang merupakan aktifitas refleks gerakan makanan dalam mulut
melalui faring kedalan esofagus. Makanan ini berupa bolus.

b. Esofagus
Esofasgus merupakan saluran berotot yang terletak dibagian belakang trakhea dan laring. Dibagian bawah dari esofagus terdapat sphincter yang befungsi mencegah aliran balik isi lambung ke esofagus.
Fungsi esofagus adalah adalah Menerima bolus dari faring dan menyalurkan kedalam lambung.

c. Lambung
Lambung terletak di bagian kuadran kiri atas dari abdomen dan mempunyai kapasitas kira-kira 1500 mL. Terdapat 3 bagian utama yaitu fundus, badan dan antrum. Pylorus adalah bagian kecil dari antrum

Fungsi lambung adalah :
1. Mencerna makanan secara mekanikal.
2. Sekresi, yaitu kelenjar dalam mukosa lambung mensekresi 1500 – 3000 mL
gastric juice (cairan lambung) per hari. Komponene utamanya yaitu mukus, HCL
(hydrochloric acid), pensinogen, dan air. Hormon gastrik yang disekresi
langsung masuk kedalam aliran darah.
3. Mencerna makanan secara kimiawi yaitu dimana pertama kali protein dirobah
menjadi polipeptida
4. Absorpsi, secara minimal terjadi dalam lambung yaitu absorpsi air, alkohol,
glukosa, dan beberapa obat.
5. Pencegahan, banyak mikroorganisme dapat dihancurkan dalam lambung oleh HCL.
6. Mengontrol aliran chyme (makanan yang sudah dicerna dalam lambung) kedalam
duodenum. Pada saat chyme siap masuk kedalam duodenum, akan terjadi
peristaltik yang lambat yang berjalan dari fundus ke pylorus.


d. Usus Halus
Panjangnya kira-kira 6 meter dengan diameter 2.5 cm. Berentang dari sphincter pylorus ke katup ileocecal. Usus halus dibagi dalam duodenum, jejenum, dan ileum. Duodenum panjangnya 25 cm, jejenum 2.5 m dan ileum 3.5 m.
Bagian mukosa dan submukosa yang disebut villi yang dapat meningkatkan area permukaan usus guna memungkinkan absorpsi maksimal. Setiap villus dikelilingi oleh jaringan kapiler dan pembuluh limfe yang disebut Lacteal. Lacteal akan mengabsorpsi lemak dan vitamin yang larut dalam lemak.jaringan kapiler akan mengabsorpsi nutrisi yang lain dan air.

Fungsi usus halus adalah :
1. Sekresi mukus. Sel-sel goblet dan kelenjar mukosa duodenum akan mensekresi
mukus guna melindungi mukosa usus.
2. Mensekresi enzim. Sel-sel mikrovilli (brush border cell) mensekresi sucrase,
maltase, lactase dan enterokinase yang bekerja pada disakarida guna
membentuk monosakarida yaitu peptidase yang bekerja pada polipeptida, dan
enterokinase yang mengaktifkan trypsinogen dari pankreas.
3. Mensekresi hormon. Sel-sel endokrin mensekresi cholecystokinin, secretin,
dan enterogastrone yang mengontrol sekresi empedu, pancreatic juice, dan
gastric juice.
4. Mencerna secara kimiawi. Enzim dari pankreas dan empedu dari hati masuk
kedalam duodenum. Pencernaan secara kimiawi terutama terjadi dalam jejenum
yang siap untuk diabsorpsi kedalam kapiler darah dan lacteal dari villi.
Karbohidrat oleh enzim amilase (berasal dari saliva dan pankreas) menjadi
disakarida (sukrosa, maltosa dan laktosa), yang oleh sucrase, maltase dan
lactase menjadi monosakarida (fruktosa, glucosa, dan galaktosa). Protein,
oleh enzim pepsin (dari lambung) dan trypsin (dari pankreas) menjadi
peptida, yang oleh peptidase (dari usus halus) menjadi asam amino.Lemak,
oleh empedu diemulsikan, dan selanjutnya oleh lipase menjadi monogliserida
dan asalm lemak bebas.
5. Absorpsi. Nutrisi dan air akan bergerak dari lumen usu kedalam kapiler darah
dan lacteal dari villi.
6. Aktifitas motorik. Mencampur, kontraksi dan peristaltik. Gerakan mencampur
disebabkan oleh kontraksi serabut otot sirkuler pada usus menyebabkan chyme
kontak dengan villi untuk diabsorpsi. Peristaltik akan mendorong chyme
melalui saluran dengan rata-rata 1 – 2 cm per menit. Chyme tinggal dalam
usus halus selama 3-10 jam, dan zat sisa akan bergerak kedalam usus besar.
Stimulasi oleh sistem simpatis akan menghambat motilitas dan aktifitas
sekresi usus halus. Sistem parasimpatis terutama saraf vagus(N X) akan
meningkatkan tonus otot intestinal, motilitas, dan proses pencernaan.

e. Hati
Adalah organ terbesar yang terdapat dalam rongga abdomen, yang pada orang dewasa kira-kira seberat 1,37 kg. Letaknya pada hipokondria kanan dan area hipogastik. Unit fungsional dari hati disebut lobulus yang mengandung hepatosit (sel hati) yang ada disekitar vena sentral hati. Kapiler (sinusoid) berlokasi diantara hepatosit dan bersama dengan sel Kuffer yang mempunyai fungsi pagosit (mengeluarkan bakteri dan toksin dari tubuh). Saluran empedu interlobaris membentuk kapiler empedu (canaliculi). Sel hepatik akan mensekresi empedu kedalam canaliculi.
Sistem sirlulasi portal (enterohepatic) membawa darah yang berasal dari lambung, usus, limfa, dan pankreas. Darah masuk kedalam hati melalui vena portal..

Fungsi :
Menghasilkan , menyimpan dan mentransfortasi serta ekresi sejumlah substan/zat yang diperlukan dalam :
1. Metabolisme karbohidrat yaitu mengkonversi glucose menjadi glycogen
(glygenesis),
2. Metabolisma protein yaitu sintesa asam amino nonessential, sintesa plasma
protein, sintesa faktor-faktor pembekuan, dan mem urea dari NH3
3. Metabolisme lemak yaitu mensintesa lipoprotein, memecahkan triglyserida
menjadi asam lemak dan gliserol, membentuk ketone bodies, mensintesa asam
lemak dari asam amino dan glucose, mensintesa dan memecahkan sholesterol.
4. Detoksifikasi : menginaktivasi obata-obatan dan zat lainnya serta
mengekresi zat-zat yang tidak diperlukan
5. Memproduksi empedu : membentuk empedu yang mengandung garam empedu, pigmen
empedu dan cholesterol (empedu dihasilkan setiap hari sekitar 1 liter).
6. Menyimpan : Glucose dalam bentuk glycogen, vitamin yang larut dalam lemak
(A,D,E,K) dan yang larut dalam air (B1, B2, Cobvalamin, Vit C), asam lemak,
mineral –mineral, asam amino dalam bentuk albumin dan ( globulin.
7. Sistem pagosit (sel kuffer) : memecahkan eritrosit yang sudah tua,
eritrosit, bakteri, dan partikel lainnya, memecahkan hemoglobil dari
eritrosit kedalam bilirubin dan biliverdin.

f. Usus Besar
Usus besar dimulai dari katup ileocecal ke anus dan rata-rata panjangnya 1,5 m. Usus halkus terbagi kedalam cecum, colon, dan rectum. Vermiform appendix berada pada bagian distal dari cecum. Colon terbagi menjadi colon ascending, colon transversal, colon descending, dan bagian sigmoid. Bagian akhir dari usus besar adalah rectum dan anus. Sphincter internal dan eksternal pada anus berfungsi untuk mengontrol pembukaan anus.

Fungsi utama usus besar adalah :
1. Sebagai aktifitas motorik. Gerakan mengayun dan peristaltik akan
menggerakkan zat sisa menuju kebagian distal.
2. Sekresi. Pada umunya memproduksi mukus yang melindungi mukosas akan tidak
mengalami injury, melunakkan feces yang memungkinkan bergerak dengan lancar
kearah pelepasan dan menghambat pengaruh pembentukan keasaman oleh bakteri.
3. Absorpsi air, garam, dan chlorida. Colon mempunyai kemampuan mengabsorpsi
90 % air dan garam dan mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
4. Mensintesa vitamin. Bakteri pada uisus halus akan mensintesa vitamin K,
thiamin, riboflavin, vitamin B12, dan folic acid.
5. Membentuk feces. Feces terdiri dari ¾ air dan ¼ massa padat. Massa padat
termasuk sisa makanan dan sel yang mati. Pigmen empedu memberikan warna pada
feces. Dan menstimulasi gerakan isi usus kearah pelepasan.
6. Defekasi. Yaitu aktifitas mengeluarkan feces dari dalam tubuh keluar. Pada
saat feces dan gas berada dalam rektum, tekanan dalam rektum meningkat,
menyebabkan terjadinya refleks defekasi.

Kanalis Inguinalis
Pleksus saraf dalam dinding usus besar akan mempertahankan tonus otot secara kontinu pada usus besar dan menstimulasi gerakan usus. Impuls saraf parasimpatis dari saraf vagus menstimulasi bagian proksimal colon.
Kanalis Ingunalis pada pria berisi funikulus spermatikus dan pada wanita berisi ligamentum rotundum.

Batas kanalis ingunalis :
1. Anulus ingunalis internus berada di eraniolateral yang merupakan bagian
terbuka dari fasia transveralis dan poneurosis transverses abdominis.
Annulus internus terletak di pertengahan antara SIAS dengan tuberkulum
pugikan dan 1 jari dari di atas ligamentum ingunalis.
2. Anulus ingunalis eksternus berada di eaudomedil, diatas tuberlakum pugikum
yang merupakan bagian terbuka dari aponeurosis m. oblikus eksternus.
3. Atapnya adalah aponeurosis M. oblikus eksternus.
4. Dasarnya terdapat ligametum ingunalis.

Trigonum hasselbach, merupakan daerah yang dibatasi:
a). Inferior oleh ligamentum ingunalis.
b). Di bagian lateral oleh vasa efigastrika inferior.
c). Di bagian medial oleh tepi lateral m rektur abdominis.
d). Dasarnya dibentuk oleh ransverses.

C. Etiologi
Kongential terjadi akibat prosessus vaginalis perisisten disertai dengan annulus yang terbuka lebar.
Terutama ditemukan adanya faktor kausal yang berperan untuk timbulnya Hernia:
1. Prosesus vaginalis yang cepat terbuka
2. Peninggian tekanan intraabdomen
a. Pekerjaan mengangkat barang-barang berat
b. Batuk kronik: bronchitis kronik, TBC
c. Hipertropi prostat, stikter ureta, konstipasi, asites

3. Kelemahan otot dinding perut
a. Usia tua, sering melahirkan
b. Kerusakan, N Mouguinalis dan iliofemoralis setelah apendektomi (bedah
digestif)

D. Insiden
Hernia ingunalis pada bayi dan anak sekitar 1-2 %, sisi kanan biasanya lebih sering (60 %) dibanding sisi kiri (20 %) dan bilateral sebanyak 10-15 % Hernia ingunalis lateralis hampir selalu disebabkan oleh peninggian tekanan intraabdominal dan kelemahan otot dinding perut. Umumnya terjadi bilateral, khususnya pria tua. Hernia ini jarang menimbulkan inkarserasi.

E. Patofisiologi
Kanalis ingunalis adalah kanal yang normal pada bulan ke-8 kehamilan terjadi testis melalui kanal tersebut.
Pada bayi yang sudah lahir, umumnya prosessus ini lebih mengalami obiterasi sehingga ini rongga perut tidak dapat melalui kanalis tersebut. Namun dalam beberapa hal, seringkali kanalis ini tidak menutup.
Bila prosessus terbuka terus (karena tidak mengalami obliterasi), akan timbul Hernia ingunalis congenital. Pada orang dewasa kanalis tersebut telah tertutup, namun karena lokus minoris resistensie, maka keadaan yang menyebabkan tekanan intra abdominal meningkat kanal tersebut dapat terbuka kembali Hernia ingunalis lateralis.

F. Manifestasi Klinik
Umumnya pasien mengatakan turun berok atau kelingsir atau mengatakan adanya benjolan diselengkangan.kemaluan, benjolan tersebut biasa mengecil atau menghilang pada waktu tidur, dan bila menangis mengejam atau mengangkat benda berat atau bila posisi pasien berdiri dapat timbul kembali. Bila terjadi komplikasi dapat ditemukan nyeri.
Pada keadaan normal jari tangan tidak dapat masuk. Pasien diminta mengejam dan merasakan apakah ada massa yang menyentuh jari tangan. Bila massa tersebut menyentuh jari maka itu adalah Hernia ingunalis lateral, sedangkan bila sisi jari maka diagnosanya adalah Hernia ingunalis medialis.

G. Test Diagnostik
Lab : Peningkatan jumlah sel darah putih dengan pergeseran diferensial.
1. Urinalis untuk mendeteksi adanya infeksi saluran kemih
2. Pemeriksaan ronsen abdomen untuk mendeteksi penyebab lain
3. Ronsen data untuk mengesampingkan pneumonia
(Tucker, 1999)

H. Penatalaksanaan Medik
Operatif merupakan satu pengobatan yang rasional, untuk Hernia prinsip dasar operasi terdiri dari herniotomi dan herniorafi.
1. Konservatif seperti pemberian sedatif. Kompres, posisi tidur Trandelenburg
hanya ditujukan pada hernia kanal.
2. Pembedahan
a. Herniotomi : kantong hernia dibuka dan didorong kedalam rongga abdomen
kantong proximal dijahit, ikat stangulasi, mungkin dipotong, kantong distal
dibiarkan.
b. Herniorafi : setelah heniotomi dilakukan tindakan memperkecil annulus
internus diperkuat dinding belakang kanalis ingunal ini penting untuk
mencegah terjadinya residif.

II. Konsep Keperawatan
A. Pengertian Keperawatan
Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan yang profesional yang merupakan bagian dari pelayanan kesehatan didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, bentuk pelayanan bio, psiko, social dan spritual yang komphrehensif, ditujukan kepada individu, keluarga, dan masyarakat baik yang sehat maupun yang sakit yang mencakup seluruh kehidupan manusia. Proses keperawatan adalah suatu sistem yang mempunyai 5 tahap yaitu pengkajian, Diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

B. Proses keperawatan pada klien Hernia
1. Pengkajian :
a) Preoperasi
1) Kemerahan, padat, nyeri, globular, bengkak yang tidak berkurang pada lipatan
paha.
2) Rewel karena nyeri
3) Anoreksia
4) Muat muntah
5) Distensi abdomen
6) Tak ada peristaltic Usus.
7) Dehidrasi
8) Jika saluran usus mengalami isekemik atau gangren akan mengakibatkan syok,
deman, tak ada bising usus, dan asidosis metabolik

b) Pasca Operasi
1) Nyeri abdominal, tiba-tiba hilang dan nyeri pada perforasi diikuti dengan peningkatan nyeri menyebar
2) Posisi miring dengan lutut fleksi memberikan rasa nyaman yang maksimal.
3) Distensi abdomen secara progrersif.
4) Muntah (mungkin terjadi setelah serangan nyeri).
5) Diare atau konstipasi.
6) Penurunan atau hilangnya bising usus.
7) Demam.
8) Takipnea.
9) Pucat atau kemerahan.
10) Peka rangsang.
11) Gelisah dan dehidrasi (Tucker, 1999)

2. Dampak Pasca Operasi Hernia Terhadap Kebutuhan Dasar Manusia:

Hernia

Post operasi

Terputusnya kontuinitas jaringan

Mengeluarkan zat-zat proteolitik
(Bradakinin, histamine dan prostaglandin)

merangsang ujung-ujung syaraf tepi

dihantarkan oleh afferent 1-2 segmen di dorsal
rool menuju hipotalamus

Dikembalikan oleh syaraf efferent

Persepsi nyeri

aktivitas dibatasi

gerakan terbatas


Kurang Perawatan Diri


c. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang lazim dijumpai pada klien dengan gangguan sistem pencernaan: Hernia inguinalis lateralis adalah:
1. Ansietas berhubungan dengan pengetahuan tentang kejadian preoperasi dan
pasca operasi, takut tentang beberapa aspek pembedahan.
2. Nyeri berhubungan dengan pembedahan.
3. Resiko tinggi terhadap kerusakan terhadap komplikasi berhubungan dengan
pembedahan.
4. Resiko tinggi terhadap infeksi pada retensi perkemihan akut, insisi dan
pembedahan dan inflamasi skrotum terhadap herniorafi.
5. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan mobilitas fisik
skunder terhadap pembedahan.
6. penatalaksanaan pemeliharaan di rumah berhubungan dengan kurangnya
pengetahuan tentang perawatan diri saat pasien pulang.

d. Intervensi
1. Ansites berhubungan dengan pengetahuan tentang kejadian preoperasi dan pasca operasi, takut tentang bebeapa aspek pembedahan.

Tujuan : Mengungkapkan pemahaman tentang kejadian preoperasi dan pasca operasi, melaporkan berkurangnya perasaan cemas atau gugup, ekspresi ceria.


INTERVENSI RASIONAL
1. Jelaskan apa yang terjadi selama periode praoperasi dan pasca operasi,
persiapan kulit, alasan status puasa, obat-obatan praopeasi, tinggal diruang
pemulihan, dan program pasca operasi informasikan pasien bahwa obat nyeri
sebelum nyeri menjadi berat.
2. Ajarkan dan usahakan pasien untuk :
a. Nafas dalam
b. Berbalik
c. Turun dari tempat tidur
d. Membabat bagian yang dibedah ketika batuk
Jika ada, gunakanlah program audiovisual untuk membedakan khusus.
3. Biarkan pasien dan orang terdekat mengungkapkan perasaan tentang pengalaman
pembedahan. Perbaiki jika ada yang kekeliruan konsep. Rujuk pernyataan
khusus tentang pembedahan kepada ahli bedah.

4. Lengkapi daftar aktivitas pada daftar cek praoperasi (Apendiks K). Beritahu dokter jika ada kelainan dari hasil tes laboratorium praoperasi.

5. Tegaskan penjelasan-penjelasan dari dokter. Pengetahuan tentang apa yang diperkirakan membantu mengurangi ansietas dan meningkatkan kerjasama pasien selama pemulihan. mempertahankan konstan memberikan
kontrol. nyeri terbaik



Untuk mendorong keterlibatan pasien dalam perawatan diri.
Dengan mengungkapkan perasaan membantu pemecahan masalah dan memungkinkan pemberi perawatan untuk mengidentifikasi kekeliruan yang dapat menjadi sumber kekuatan orang terdekat adalah sistem .
Pendukung bagi pasien. Agar efektif, system pendukung harus mempunyai mekanisme yang kuat.
Daftar cek memastikan semua aktivitas yang diperlukan telah lengkap. Aktivitas tersebut dirancang untuk memastikan pasien telah siap secara fisiologi, untuk pembedahan, sehingga mengurangi resiko lamanya penyembuhan.
Pengulangan-pengulangan tersebut mendorong untuk belajar.

2. Nyeri berhubungan dengan pembedahan
Tujuan : pasien tidak merasa takut, postur tubuh rileks, tidak mengeluh nyeri atau nyeri berkurang .

INTERNVENSI RASIONAL
1. Pantau :
a. Tekanan darah, ,nadi dan pernafasan setiap 4 jam
b. Intensitas nyeri
c. Tingkat kesadaran

2. Berikan obat analgetik jika dibutuhkan dan evaluasi keefektifannya. berikan obat analgestik sesuai dengan nyeri yang dirasakan pasien.
a. Nyeri ringan-analgetik oral-oral non-narkotik.
b. Nyeri sedang-analgetik orl-oral narkoti atau obat entiinflamasi nonsteroid
(nsaid) seperti torodal.
c. Nyeri hebat-analgetik narkotik secara parenteral.

3. Memberitahu dokter jika nyeri bertambah buruk atau tidak ada respons terhadap analgetik yang diberikan sampai pemberian obat selanjutnya.

4. Memberitahukan dokter efek yang merugikan dari analgesik narkotik dan intervensi dengan tepat:
a. Depresi pernafasan
1) pernafasan tidak teratur kurang dari 12 menit.
2) berikan nalokson hci(narcan) iv sesuai pesanan.
3) berikan separuh dosis obat narkotik selama pengaruh anesta.

Untuk mengenal indikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang diharapkan


Pasien yang paling dapat menilai intensitas nyeri, sebab nyeri adalah pengalaman subyektif. Analgesik yang kuat diperlukan untuk nyeri yang lebih hebat.
Ini merupakan indikasi bahwa perlu analgesik yang lebih besar bila mulai ada komplikasi.
Defresi pernafasan adalah efek samping yang paling utama dari analgetik narkotik antagonis..

b. Sedasi
Jika pasien sulit untuk bangun, kurangi jumlah analgesik dan hindarkan pemberian obat yang lain yang menyebabkan penekanan system syaraf pusat (hipnotik).
c. Konstipasi
Anjurkan masukan cairan bebas, makanan tinggi serat dan lunak fases.
d. Retensi Urin
Kateter dianjurkan jika pasien mengeluh tidak mampu untuk mengeluarkan urine walaupun dengan mengedan yang menyertai distensi suprapubis.

5. Bantu pasien untuk
mengambil posisi yang nyaman. Tinggikan ekstremitas yang terasa sakit. Tekuk lutut dengan menggunakan bantal atau penyokong lutut ditempat tidur untuk menurunkan ketegangan otot-otot perut setelah tindakan bedah atau bila ada nyeri dipunggung.

6. Pakai kompres es atau kompres panas (kalau tidak ada kontraindikasi). Hindarkan kompres panas untuk luka dan insisi baru.

7. Ajarkan pasien teknik bernafas berirama untuk nyeri yang ringan sampai yang sedang dalam hubungannya dengan nyeri yang lain meringankan intervensi.
Sedasi yang berlebihan adalah gejala-gejala takar lajak obat. Pasien dengan gagal ginjal, penyakit hepar dan lanai adalah paling mudah terkena efek samping takar lajak obat.

Kontipasi adalah masalah bagi yang menggunakan analgetik narkotik yang lama.
Rertensi urine lebih sering terjadi pedang analgetik narkotik, yang mengontrol nyeri kuat
Tempatkan tubuh pada posisi yang nyaman untuk mengurangi penekanan dan mencegah untuk mengurangi penekanan dan mencegah otot-otot tegang membantu menurunkan rasa tidak nyaman
Dingin mencegah pembengkakan. Panas melemaskan otot dan pembuluh darah berdilatasi untuk meningkatkan sirkulasi.

Distaksi mengganggu stimulas nyeri dengan mengurangi rasa nyeri. Distaksi tidak mengubah intensitas nyeri. Paling baik digunakan untuk periode pendek pada nyeri ringan sampai sedang.

.8. Berikan istirahat sampai nyeri hilang. Kurangi kebisingan dan sinar yang terang. Jaga kehangatan pasien dengan selimut ekstra. Istirahat menurunkan pengeluaran energi. Vasokonstruksi perifer terjadi pada nyeri hebat dan menyebabkan pasien panas merasa dingin. Biasanya rangsangan lingkungan yang kuat, memperhebat persepsi pasien.

3. Resiko tinggi terhadap komplikasi berhubungan dengan pembedahan.
Tujuan : tidak ada infeksi tidak ada pendarahan, penyembuhan luka.
INTERVENSI RASIONAL
1. Pantau keadaan tepi luka ketika mengganti verban.
2. Agar pasien menahan insisi abdomen ketika batuk.
3. Jika terjadi dehisens, tutup insisi dengan verban steril yang dibasahi larutan saline untuk melindunginya. Beritahu dokter.
4. Berikan perawatan luka dengan menggunakan teknik aseptik yang ketat. Untuk mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang diharapkan.
Untuk mencegah tegangan pada jahitan.
Lembab melindungi jaringan agar tidak mengering.

Infeksi luka adalah penyebab utama dehisens.
4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan resensi perkemahan akurat, insisi pembedahan, dan inflamasi skrotum sekunder terhadap herntrofi.
Tujuan : Urine jerih kuning atau kekuning-kuningan, berkemah tanpa keluhan ketidak nyamanan, suhu 37o, luka sembuh, SDP diantara 5000-10.000/mm3.
INTERVENSI RASIONAL
1. Pantau
a. Untuk kesulitan berkemih setiap 8 jam.
b. Masukkan dan keluaran setiap 8 jam.
c. Warna dan ukuran skrotum setiap hari.
d. Penampilan luka pada penggantian balutan.
e. Suhu setiap 4 jam.
2. Laporkan pada dokter temuan tentang:
a. Ketidakmampuan berkemih disertai dengan distensi suprapubis
b. Sering kemih dengan jumlah sedikit. Katerisasi sesuai pesanan.
3. Konsultasi dokter bila pasien mengalami bengkak dan ekimosis skrotum atau nyeri berkemih dengan bau tak sedap, urine keruh. Berikan kompres es dan sokong scrotal sesuai pesanan. Berikan antibiotik yang diprogramkan. Tingkatkan masukan cairan sampai sedikitnya 2-3 setiap hari.
Untuk mengidentifikasi indikasi kemajuan atau penyampaian dari hasil yang diharapkan.

Temuan ini menandakan retensi perkemihan akut dan memerlukan katerisi untuk mengosongkan kandung kemih. Retensi perkemihan meningkatkan risiko infeksi saluran kemih.

Temuan ini menandakan infeksi kompres dingin dan peninggian membantu menghilangkan bengkak. Antibiotik diperlukan untuk mengatasi infeksi. Cairan membantu pembilasan ginjal dan meningkatkan antibiotik lebih baik.

5. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan mobilitas fisik sekunder terhadap pembedahan.
Tujuan : mengidentifikasi area kebutuhan dan mengungkapkan ADL terpenuhi.


INTERVENSI RASIONAL
1. Tentukan tingkat bangunan yang diperlukan. Berikan bantuan dengan ADL sesuai keperluan. Membiarkan pasien melakukan sebanyak mungkin untuk dirinya.
2. Berikan waktu yang cukup bagi pasien untuk melaksanakan sktivitas.
3. Instruksikan pasien adaptasi diperlukan untuk melaksanakan ADL. Dimulai dengan tugas yang mudah dilakukan dan berlanjut sampai tugas yang sulit. Berikan pujian untuk keberhasilan tersebut. Untuk mendorong kemandirian

Membebani pasien dengan aktivitas menyebabkan frustasi.

Untuk mendorong kemandirian pujian memotivasi untuk terus belajar.

6. Resiko tinggi terhadap kerusakan penatalaksanaan pemeliharaan di rumah berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang perawatan diri saat pasien pulang.
Tujuan : Menyatakan mengerti tentang instruksi, melaksanakan dengan tepat keterampilan perawatan diri yang diperlukan.
INTERVENSI
RASIONAL
1. Pastikan pasien memiliki instruksi tertulis tentang perawatan diri dan perjanjian untuk kunjungan evaluasi.
2. Ajarkan dan biarkan pasien merawat luka jika penggantian verban perlu
dilakukan di rumah. Tekankan pentingkan mencuci sebelum dan sesudah merawat
luka
3. Evaluasi kebutuhan bantuan perawatan di rumah tersedianya sistem pendukung
yang memadai untuk memberikan bantuan yang diperlukan. Hubungi perencana atau
pemulangan pasien untuk mengatur bantuan perawatan di rumah jika memerlukan
bantuan tetapi tidak mempunyai system pendukung di rumah.
4. Instruksikan pasien untuk memberitahu dokter jika terjadi infeksi luka,
kemerahan, nyeri tekan, drainase, demam.
5. Pastikan pasien mempunyai persediaan yang cukup untuk perawatan luka dan
resep untuk analgetik.

Instruksi verbal akan mudah terlupakan

Praktik akan membantu pasien mengembangkan keyakinannya dengan perawatan diri. Juga memungkinkan perawat mengevaluasi kemampuan pasien melaksanakan keterampilan tersebut sendiri dan menentukan apakah diperlukan bantuan. Tindakan untuk mencegah infeksi harus dilanjutkan sampai luka benar-benar sembuh.
Layanan sosial atau perencanaan pemulangan pasien berfungsi sebagai penghubung yang penting untuk memindahkan pasien ke lingkungan rumah atau fasilitas perawatan luar untuk memastikan kelanjutan penyembuhan atau rehabilitasi.

Diperlukan antibiotik untuk mengatasi infeksi.

Persediaan penting untuk mengurangi kecemasan yang pada umumnya berhubungan dengan pemulangan pasien. Analgetik memberi kenyamanan dan mendorong untuk tidur.
6. Instruksikan agar pasien beristirahat sepanjang hari, secara bertahap melakukan aktivitas serta menghindari benda-benda berat dan latihan yang berlebihan. Pembedahan adalah stresor.

DAFTAR PUSTAKA
Arief Mansyur, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, EGC, Jaharta
Brunner & Suddarth, 2001, Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8 vol, EGC, Jakarta

Carpenito, Lynda Juall, 1995, Diagnosa keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik Edisi 6, EGC, Jakarta

Carpenito, Lynda Juall, 1995, Rencana Asuhan dan Dokumentasi keperawatan Edisi 2, EGC, Jakarta

Engram, Barbara,1999, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Volume I, EGC, Jakarta

Gayton & Hall, 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9, EGC, Jakarta

Gibson, John, MD, 1995, Anatomi Dan Fisiologi Modern Untuk Perawat, EGC, Jakarta

Hudak & Gallo, 1996, Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik, Edisi VI, EGC, Jakarta

Keliat, B.A. 1994, Proses Keperawatan, Arcan, Jakarta

Made Kusala Girl, Farid Nur Mantu, 2000, Hernia Inguinalis Lateralis pada Anak-anak, Laboratorium Ilmu Bedah, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang

Marrilyn. E. Doengoes, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3 EGC, Jakarta

Polaski, Arlene L, 1996, Luckman’s Core Principles and practice of Medical Surgical Nursing, , W.B Saunders Company, Philadelphia

Soeparman A. Sarwono Waspadji, 1990, Ilmu Penyakit Dalam jilid II, , UI, Jakarta

Susan Martin Tucker, 1999, Standar Perawatan Pasien, EGC, Jakarta

Doping dan Macam-macamnya

Doping dan Macam-macamnya

A. Pengertian Doping

SEJARAH

Doping telah dikenal dan digunakan sejak lama, misalnya pada masyarakat Indian memakan tumbuhan tertentu untuk meningkatkan kekuatan dan menambah keberanian saat berburu. Perkembangan selanjutnya, doping banyak digunakan oleh atlet balap sepeda. Sejarah abad modern mencatat penggunaan doping sebagai berikut :
• 1865 : Doping digunakan perenang dalam lomba di saluran air Amsterdam
• 1886 : Seorang pembalab sepeda Perancis yang mengikuti lomba balap 600 Km,
meninggal setelah Trimethyl
• 1910 : Pemberian "paradoping" pada lawan bertanding agar prestasi lawan
menurun.
• 1960 : Pembalap sepeda meninggal karena terlalu banyak mengkonsumsi
Amphetamine.
• 1967 : Ditemukan kematian pembalap sepeda, pemain sepakbola dan petinju
karena pemakaian Wake Amine.
• 1980 : Ben Johnson, pelari cepat 100 meter dicopot gelar juaranya karena
ketahuan menggunakan Anabolic Steroid pada Olimpiade Soul.

ALASAN PENGGUNAAN DOPING
• Aspek Psikologis (setiap individu potensi melakukan pelanggaran)
• Kepribadian (setiap individu memiliki konsep/harga diri rendah dalam
menghadapi situasi kompetitif, mencari keuntungan pribadi)
• Lingkungan Sosial Individu
• Nilai sosial kemenangan
• Lingkungan masyarakat
• Lingkungan pemain
• Kurannya informasi tentang bahaya doping
• Ketatnya persaingan
• Komersialisasi
• Propaganda
• Frustasi


ALASAN PELARANGAN DOPING
• Alasan etis : penggunaan doping melanggar norma fairplay dan sportivitas
yang merupakan jiwa olahraga
• Alasan medis : membahayakan keselamatan pemakainya. Atlet akan mengalami :

- Kebiasaan (Habituation)
- Kecanduan (Addiction)
- Ketergantungan obat (Drug Abuse)


ZAT-ZAT DOPING DIKELOMPOKKAN KE DALAM 7 GOLONGAN :

1. Stimulan (amphetamine, caffein, cocain, aphedrine, dll)
2. Narkotik-Analgesik (Methadone, Morphine, Oxycodone, dll)
3. Anabolik-Androgenuk (Testosterone, Balasterone, dll)
4. Anabolik Non Steroid (Clenbuterol, Zeranol, dll)
5. Penghalang Beta (Acebutotlol, Atrenolol, Sotalol, dll)
6. Diuretika (Acetazolamid, Amiloride, Chlormerodrin, dll)
7. Peptida hormon (growth hormon, Adrenocortico hormon, dll)

METODE DOPING YANG DILARANG

•Doping darah (blood doping) atau autotransfusi : yaitu pemberian darah, sel darah merah, pembawa oksigen buatan dan produk darah yang terkait dengan atlet.
Manipulasi farmakologik kimia dan fisik: yaitu penggunaan bahan dan atau metode yang mengubah, mencoba mengubah, atau diharapkan dapat mengubah, kejujuran dan validitas sampel dalam pengawasan doping.

Doping adalah penggunaan obat obatan untuk meningkatkan perfomance dalam berolahraga. Berakar kata “dope”, yang digunakan suku asli di Afrika Selatan untuk nama minuman beralkohol yang mereka pakai dalam upacara dansa-dansi.

Adapun definisi-definisi untuk doping ini berubah-ubah terus sesuai dengan perkembangan zaman. Defmisi yang pertama digariskan adalah pada tahun 1963 dan berbunyi sebagaiberikut : doping adalah pemakaian zat-zat dalam bentukapapun yang asing bagi tubuh, atau zat yang fisiologis dalam jumlah yang tak wajar dengan jalan tak wajar pula oleh seseorang yang sehat dengan tujuan untuk mendapatkan suatu peningkatan kemampuan yang buatan secara tidak jujur. Juga bermacam-macam usaha psikologis untuk mening katkan kemampuan dalam olahraga harus dianggap sebagai suatu doping. (Hario Tilarso. Masalah Doping. Jakarta. Pusat Kesehatan Olahraga DKI)
Lalu karena dirasakan sukar untuk membedakan antara suatu pemakaian doping dengan suatu pengobatan memakai obat-obat stimulantia maka ditambah pula hal-hal baru dalam definisi tersebut : Bila karena suatu pengobatan terjadi kenaikan suatu kemampuan fisik karena khasiat obat atau karena dosis yang berlebih maka pengobatan tersebut dianggap sebagai suatu doping.

Pada Kongres Ilmiah Olahraga Internasional yang diadakan pada saat berlangsungnya Olympiade Tokyo 1964 diadakan perubahan definisi doping tersebut menjadi sebagai berikut Doping adalah pemberian kepada ,atau pemakaian oleh seorang atlet yang bertanding, suatu zat asing melalui cara apapun, atau suatu zat yang fisiologis dalam jumlah yang tak wajar, atau diberikan dengan cara yang tak wajar dengan maksud/tujua khusus untuk meningkatkan secara buatan dengan cara yang tak jujur kemampuan si atlet dalam pertandingan. Dalam kontek sekarang, doping diartikan penggunaan bahan-bahan kimia yang terlarang yang diduga bisa membahayakan kesehatan pemakainya.


B. Macam-Macam Doping
a. Macam doping
Ambisi untuk menang dalam jagat olah raga, baik bagi kebanggaan diri sendiri, keluarga, maupun negara, menyebabkan atlet, pelatih, atau si orang tua atlet menghalalkan segala cara. Tersering, cara yang digunakan adalah meminum secara teratur obat, ramuan tetumbuhan, atau zat tertentu agar otot tubuh menjadi besar dan kuat. Cara tersebut populer disebut doping dilarang dalam dunia olah raga karena dianggap tidak jujur. Selain itu, doping juga berbahaya bagi kesehatan si atlet sebab itu dapat menyebabkan timbulnya penyakit, cacat, bahkan kematian. Jadi, keuntungan yang didapat tidaklah seimbang dengan kerugian yang akan diderita bertahun-tahun kemudian. Belum lagi kalau ketahuan, si atlet dan pembinanya harus menanggung rasa malu.

Keberadaan doping di kalangan atlet agak sulit dibendung selama si atlet tidak mengakui keberadaan dan kemampuan fisiknya sendiri. Sudah banyak peraturan dan batasan-batasan yang sengaja dibuat untuk selalu menjaga kejujuran, bahkan sudah banyak sanksi tegas, mulai dari yang ringan sampai yang berat, diberlakukan pada mereka yang terbukti melanggar.

Hingga kini, jenis obat yang masuk doping adalah golongan stimulant (perangsang), golongan narkotik analgesic, golongan anabolik steroid, golongan betablocker, golongan diuretika, dan golongan peptide hormons dan analognya. Selain itu, ada cara tertentu yang termasuk doping yaitu doping darah, manipulasi secara fisik, dan farmakologi. Adapun, bahan obat yang dibatasi adalah alkohol, mariyuana, anestesi lokal, dan kortikosteroid.

Salah satu jenis doping yang paling sering digunakan para atlet adalah obat-obatan anabolik, termasuk hormon androgenik steorid. Jenis hormon ini punya efek berbahaya, baik bagi atlet pria maupun atlet perempuan karena mengganggu keseimbangan hormon tubuh serta meningkatkan risiko terkena penyakit hati dan jantung.

Khusus bagi atlet perempuan, pemakaian hormon ini akan menyebabkan tumbuhnya sifat pria, seperti berkumis, suara berat, dan serak. Lalu, timbul gangguan menstruasi, perubahan pola distribusi pertumbuhan rambut, mengecilkan ukuran buah dada, dan meningkatkan agresivitas. Bagi atlet remaja, itu akan mengakibatkan timbulnya jerawat. Yang terpenting, pertumbuhannya akan berhenti.

Zat doping lain yang digunakan biasanya oleh pemanah dan penembak dengan tujuan meningkatkan ketenangan, mengurangi tangan gemetar, menurunkan denyut jantung agar lebih mudah berkonsentrasi adalah obat yang tergolong betablocker. Obat ini digunakan dokter untuk mengobati penyakit jantung, yaitu mengurangi palpitation (jantung berdebar) dan menurunkan tekanan darah (penderita penyakit jantung akibat tekanan darah tinggi).

Psikostimulansi: Amfetamin, kokain, nikotin, kofein.
Ketergantungan fisik tidak begitu kuat, sedangkan ketergantungan psikis bervariasi dari lemah (kofein) sampai sangat kuat (amfetamin, kokain).
Senyawa anfetamin: anfetamin, metamfetamin (“speed”) MTA, dan ectasy. Pada waktu perang dunia ke-II, senyawa ini banyak digunakan untuk efek stimulansnya, antara lain meningkatkan daya tahan prajurit dan penerbang, menghilangkan rasa letih, mengantuk, maupun lapar, dan meningkatkan kewaspadaan dan aktivitas. Selain itu zat ini juga meningkatkan tekanan darah dan rate jantung, yang dapat menyebabkan stroke maupun serangan jantung. Seusai perang zat ini, yang juga disebut “pep-pills”, sering sekali disalah gunkan oleh mahasiswa dan pengemudi truk untuk memberikan perasaan nyaman (euphoria), serta menghilangkan rasa kantuk dan lelah. Dikalangan atletik zat ini digunakan sebagai “doping” untuk meningkatkan prestasi yang melampai batas kemampuan normal. Keadaan ini tidak wajar dan berbahaya, karena rasa letih merupakan peringtan dari tubuh bahwa seseorang tersebut telah sampai batas kemampuannya. Jika dipaksakan bisa menimbulkan “exhaustion” yang membahayakan kesehatan.

Overdose dapat berbahaya, dapat menimbulkan kekacauan pikiran, delirium, halusinasi, perilaku ganas, dan juga aritmia jantung yang dapat menimbulkan masalah serius. Untuk mengatasi gejala ini digunakan sedative misalnya diazepam.

Selasa, 29 Juni 2010

Askep Tumor

Askep Tumor
(Asuhan Keperawatan pada Klien Tumor)
Disunting dari: onkologi/Askep Tumor _ NursingBegin.com.htm

Konsep Dasar Tumor
Tumor merupakan salah satu dari lima karakteristik inflamasi berasal dari bahasa latin, yang berarti bengkak.

Istilah Tumor ini digunakan untuk menggambarkan pertumbuhan biologikal jaringan yang tidak normal. Menurut Brooker, 2001 pertumbuhan tumor dapat digolongkan sebagai ganas (malignant) atau jinak (benign).

Sel tumor pada tumor jinak bersifat tumbuh lambat, sehingga tumor jinak pada umumnya tidak cepat membesar. Sel tumor mendesak jaringan sehat sekitarnya secara serempak sehingga terbentuk simpai (serabut pembungkus yang memisahkan jaringan tumor dari jaringan sehat). Oleh karena bersimpai maka pada umumnya tumor jinak mudah dikeluarkan dengan cara operasi (Robin dan Kumar, 1995).
Pengertian Kanker

Sedangkan kanker adalah sebuah penyakit yang ditandai dengan pembagian sel yang tidak teratur dan kemampuan sel-sel ini untuk menyerang jaringan biologis lainnya, baik dengan pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan (invasi) atau dengan migrasi sel ke tempat yang jauh (metastasis). Pertumbuhan yang tidak teratur ini menyebabkan kerusakan DNA, menyebabkan mutasi di gen vital yang mengontrol pembagian sel, dan fungsi lainnya (Tjakra, 1991).

Etiologi Tumor
1. Kelainan kongenital

Kelainan kongenital adalah kelainan yang dibawa sejak lahir, benjolannya dapat berupa benjolan yang timbul sejak lahir atau timbul pada usia kanak-kanak bahkan terkadang muncul setelah usia dewasa. Pada kelainan ini ,benjolan yang paling sering terletak di leher samping bagian kiri atau kanan di sebelah atas , dan juga di tengah-tengah di bawah dagu. Ukuran benjolan bisa kecil beberapa cm tetapi bisa juga besar seperti bola tenis. Kelainan kongenital yang sering terjadi di daerah leher antara lain adalah hygroma colli , kista branchial , kista ductus thyroglosus.

2. Genetic
3. Gender / jenis kelamin
4. Usia
5. Rangsangan fisik berulang
Gesekan atau benturan pada salah satu bagian tubuh yang berulang dalam waktu yang lama merupakan rangsangan yang dapat mengakibatkan terjadinya kanker pada bagian tubuh tersebut, karena luka atau cedera pada tempat tersebut tidak sempat sembuh dengan sempurna.

6. Hormon
Hormon adalah zat yang dihasilkan kelenjar tubuh yang fungsinya adalah mengatur kegiatan alat-alat tubuh dan selaput tertentu. Pada beberapa penelitian diketahui bahwa pemberian hormon tertentu secara berlebihan dapat menyebabkan peningkatan terjadinya beberapa jenis kanker seperti payudara, rahim, indung telur dan prostat (kelenjar kelamin pria).

7. Infeksi
8. Gaya hidup
9. karsinogenik (bahan kimia, virus, radiasi)
Zat yang terdapat pada asap rokok dapat menyebabkan kanker paru pada perokok dan perokok pasif (orang bukan perokok yang tidak sengaja menghirup asap rokok orang lain) dalam jangka waktu yang lama.Bahan kimia untuk industri serta asap yang mengandung senyawa karbon dapat meningkatkan kemungkinan seorang pekerja industri menderita kanker.
Beberapa virus berhubungan erat dengan perubahan sel normal menjadi sel kanker. Jenis virus ini disebut virus penyebab kanker atau virus onkogenik.
Sinar ultra-violet yang berasal dari matahari dapat menimbulkan kanker kulit. Sinar radio aktif sinar X yang berlebihan atau sinar radiasi dapat menimbulkan kanker kulit dan leukemia.

Patofisiologi Tumor

Kelainan congenital, Genetic, Gender / jenis kelamin, Usia, Rangsangan fisik berulang, Hormon, Infeksi, Gaya hidup, karsinogenik (bahan kimia, virus, radiasi) dapat menimbulkan tumbuh atau berkembangnya sel tumor. Sel tumor dapat bersifat benign (jinak) atau bersifat malignant (ganas).
Sel tumor pada tumor jinak bersifat:
- tumbuh lambat, sehingga tumor jinak pada umumnya tidak cepat membesar.
- Sel tumor mendesak jaringan sehat sekitarnya secara serempak sehingga
terbentuk simpai (serabut pembungkus yang memisahkan jaringan tumor dari
jaringan sehat).
- Oleh karena bersimpai maka pada umumnya tumor jinak mudah dikeluarkan dengan
cara operasi.

Sel tumor pada tumor ganas (kanker):
- tumbuh cepat, sehingga tumor ganas pada umumnya cepat menjadi besar.
- tumbuh menyusup ke jaringan sehat sekitarnya, sehingga digambarkan seperti
kepiting dengan kaki-kakinya mencengkeram alat tubuh yang terkena.
- membuat anak sebar (metastasis) ke bagian alat tubuh lain yang jauh dari
tempat asalnya melalui pembuluh darah (hematogen) dan pembuluh getah bening
(limfogen) dan tumbuh kanker baru di tempat lain.
- Penyusupan sel kanker ke jaringan sehat pada alat tubuh lainnya dapat
merusak alat tubuh tersebut sehingga fungsi alat tersebut menjadi terganggu.

Kanker adalah sebuah penyakit yang ditandai dengan pembagian sel yang tidak teratur dan kemampuan sel-sel ini untuk menyerang jaringan biologis lainnya, baik dengan pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan (invasi) atau dengan migrasi sel ke tempat yang jauh (metastasis). Pertumbuhan yang tidak teratur ini menyebabkan kerusakan DNA, menyebabkan mutasi di gen vital yang mengontrol pembagian sel, dan fungsi lainnya (Tjakra, Ahmad. 1991).

Adapun siklus tumbuh sel kanker adalah membelah diri, membentuk RNA, berdiferensiasi / proliferasi, membentuk DNA baru, duplikasi kromosom sel, duplikasi DNA dari sel normal, menjalani fase mitosis, fase istirahat (pada saat ini sel tidak melakukan pembelahan).

Manifestasi Klinis Tumor
Ada tujuh gejala yang perlu diperhatikan dan diperiksakan lebih lanjut ke dokter untuk memastikan ada atau tidaknya kanker, yaitu :
1) Waktu buang air besar atau kecil ada perubahan kebiasaan atau gangguan.
2) Alat pencernaan terganggu dan susah menelan.
3) Suara serak atau batuk yang tak sembuh-sembuh.
4) Payudara atau di tempat lain ada benjolan (tumor).
5) Andeng-andeng (tahi lalat) yang berubah sifatnya, mejadi makin besar dan gatal.
6) Darah atau lendir yang abnormal keluar dari tubuh.
7) Adanya koreng atau borok yang tak mau sembuh-sembuh.

Klasifikasi Tumor
Berdasarkan asal jaringan, tumor dapat dibagi menjadi:
1) Tumor yang berasal dari epithelial
• Squamous epithelium : squamous cell papilloma, squamous cell carcinoma
• Transitional epithelium : transitional cell papilloma, transitional cell
carcinoma.
• Basal cell (hanya di kulit): basal cell carcinoma.
• Glandular epithelium: adenoma, cystadenoma, adenocarcinoma.
• Tubules epithelium (ginjal): renal tubular adenoma, renal cell carcinoma (Grawitz tumor).
• Hepatocytes: hepatocellular adenoma, hepatocellular carcinoma
• Bile ducts epithelium: cholangiocellular adenoma, cholangiocellular carcinoma.
• Melanocytes: melanocytic nevus, malignant melanoma.
2) Tumor yang berasal dari mesenchymal
• Jaringan yang berhubungan:
- fibroma, fibrosarcoma
- myxoma, myxosarcoma
- chondroma, chondrosarcoma
- osteoma, osteosarcoma (osteogenic sarcoma)
- lipoma, liposarcoma

• Otot:
- leiomyoma, leiomyosarcoma
- rhabdomyoma, rhabdomyosarcoma

• Endothelium:
- Hemangioma (capillary h., cavernous h.), glomus tumor, hemangiosarcoma,
Kaposi sarcoma
- Lymphangiosarcoma
• Tumor sel darah:
- Hematopoetic cells: leukemia
- Lymphoid cells: non-Hodgkin lymphoma, Hodgkin lymphoma

• Tumor sel germ:
- Teratoma (mature teratoma, immature teratoma)
- Tumor epithelial dianggap ganas apabila telah menembus lamina basalis dan
dianggap jinak bila tidak menembus lamina basalis.

2. Pemeriksaan Penunjang
a. Skrining
b. Laboratorium
c. Teknik Pencitraan (Imaging)
d. Pemeriksaan Rontgen Konvensional
e. Radiografi Digital
f. Tomografi Komputer (CT Scan)
g. Ekhografi
h. Resonansi magnetik nuklear
i. Skintigrafi

3. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan kanker pada dasarnya sama, yaitu salah satu atau kombinasi dari beberapa prosedur berikut :
1) Pembedahan (Operasi)
2) Penyinaran (Radioterapi)
3) Pemakaian obat-obatan pembunuh sel kanker ( sitostatika/khemoterapi)
4) Peningkatan daya tahan tubuh (imunoterapi)
5) Pengobatan dengan hormone

Manajemen Keperawatan Tumor

1. Pengkajian
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh (Boedihartono, 1994 : 10).
Pengkajian pasien Pre operatif (Marilynn E. Doenges, 1999) meliputi :
• Sirkulasi
Gejala : riwayat masalah jantung, GJK, edema pulmonal, penyakit vascular perifer, atau stasis vascular (peningkatan risiko pembentukan trombus).

• Integritas ego
Gejala : perasaan cemas, takut, marah, apatis ; factor-faktor stress multiple, misalnya financial, hubungan, gaya hidup.
Tanda : tidak dapat istirahat, peningkatan ketegangan/peka rangsang ; stimulasi simpatis.

• Makanan / cairan
Gejala : insufisiensi pancreas/DM, (predisposisi untuk hipoglikemia/ketoasidosis) ; malnutrisi (termasuk obesitas) ; membrane mukosa yang kering (pembatasan pemasukkan / periode puasa pra operasi).

• Pernapasan
Gejala : infeksi, kondisi yang kronis/batuk, merokok.

• Keamanan
Gejala : alergi/sensitive terhadap obat, makanan, plester, dan larutan ; Defisiensi immune (peningkaan risiko infeksi sitemik dan penundaan penyembuhan) ; Munculnya kanker / terapi kanker terbaru ; Riwayat keluarga tentang hipertermia malignant/reaksi anestesi ; Riwayat penyakit hepatic (efek dari detoksifikasi obat-obatan dan dapat mengubah koagulasi) ; Riwayat transfuse darah / reaksi transfuse.
Tanda : menculnya proses infeksi yang melelahkan ; demam.

• Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : pengguanaan antikoagulasi, steroid, antibiotic, antihipertensi, kardiotonik glokosid, antidisritmia, bronchodilator, diuretic, dekongestan, analgesic, antiinflamasi, antikonvulsan atau tranquilizer dan juga obat yang dijual bebas, atau obat-obatan rekreasional. Penggunaan alcohol (risiko akan kerusakan ginjal, yang mempengaruhi koagulasi dan pilihan anastesia, dan juga potensial bagi penarikan diri pasca operasi).

Diagnosa Keperawatan Tumor
Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata maupun potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan (Boedihartono, 1994 : 17).
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien Pre Operatif (Wilkinson, M. Judith, 2006) meliputi :
1) Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri, ancaman terhadap
perubahan status kesehatan, ancaman terhadap pola interaksi dengan orang
yang berarti, krisis situasi atau krisis maturasi.

2) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan pembedahan, efek samping penanganan,
factor budaya atau spiritual yang berpengaruh pada perubahan penampilan.

3) Koping individu, ketidakefektifan berhubungan dengan perubahan penampilan,
keluhan terhadap reaksi orang lain, kehilangan fungsi, diagnosis kanker.

4) Proses keluarga, perubahan berhubungan dengan terapi yang kompleks,
hospitalisasi/perubahan lingkungan, reaksi orang lain terhadap perubahan
penampilan.

5) Ketakutan berhubungan dengan proses penyakit/prognosis (misalnya kanker),
ketidakberdayaan.

6) Mobilitas fisik, hambatan berhubungan dengan penurunan rentang gerak,
kerusakan saraf/otot, dan nyeri.

Intervensi dan Implementasi Tumor

Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono, 1994:20)

Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995:40).

Intervensi dan implementasi keperawatan pasien Pre Operatif (Wilkinson, M. Judith, 2006) adalah :
1) Ansietas adalah suatu keresahan, perasaan ketidaknyamanan yang tidak mudah atau dread yang disertai dengan respons autonomis ; sumbernya seringkali tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu ; perasaan khawatir yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya.ini merupakan tanda bahya yang memperingatkan bahaya yang akan terjadi dan memampukan individu untuk membuat pengukuran untuk mengatasi ancaman.
Tujuan : ansietas berkurang/terkontrol.
Kriteria hasil :
- klien mampu merencanakan strategi koping untuk situasi-situasi yang membuat stress.
- klien mampu mempertahankan penampilan peran.
- klien melaporkan tidak ada gangguan persepsi sensori.
- klien melaporkan tidak ada manifestasi kecemasan secara fisik.
- tidak ada manifestasi perilaku akibat kecemasan.

• Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien.
Rasional : memudahkan intervensi.

• Kaji mekanisme koping yang digunakan pasien untuk mengatasi ansietas di masa
lalu.
Rasional : mempertahankan mekanisme koping adaftif, meningkatkan kemampuan
mengontrol ansietas.

• Lakukan pendekatan dan berikan motivasi kepada pasien untuk mengungkapkan
pikiran dan perasaan.
Rasional : pendekatan dan motivasi membantu pasien untuk mengeksternalisasikan
kecemasan yang dirasakan.

• Motivasi pasien untuk memfokuskan diri pada realita yang ada saat ini,
harapan-harapan yang positif terhadap terapy yang di jalani.
Rasional : alat untuk mengidentifikasi mekanisme koping yang dibutuhkan untuk
mengurangi kecemasan.

• Berikan penguatan yang positif untuk meneruskan aktivitas sehari-hari
meskipun dalam keadaan cemas.
Rasional : menciptakan rasa percaya dalam diri pasien bahwa dirinya mampu mengatasi
masalahnya dan memberi keyakinan pada diri sendri yang dibuktikan dengan
pengakuan orang lain atas kemampuannya.

• Anjurkan pasien untuk menggunakan teknik relaksasi.
Rasional : menciptakan perasaan yang tenang dan nyaman.

• Sediakan informasi faktual (nyata dan benar) kepada pasien dan keluarga
menyangkut diagnosis, perawatan dan prognosis.
Rasional : meningkatkan pengetahuan, mengurangi kecemasan.

• Kolaborasi pemberian obat anti ansietas.
Rasional : mengurangi ansietas sesuai kebutuhan.

2) Gangguan citra tubuh adalah konfusi pada gaambaran mental dari fisik seseorang.
Tujuan : pasien memiliki persepsi yang positif terhadap penampilan dan fungsi tubuh.
Kriteria hasil :
- pasien melaporkan kepuasan terhadap penampilan dan fungsi tubuh.
- memiliki keinginan untuk menyentuh bagian tubuh yang mengalami gangguan.
- menggambarkan perubahan actual pada fungsi tubuh.

• Kaji dan dokumentasikan respons verbal dan non verbal pasien tentang
tubuhnya.
Rasional : factor yang mengidentifikasikan adanya gangguan persepsi pada citra tubuh.

• Kaji harapan pasien tentang gambaran tubuh.
Rasional : mungkin realita saat ini berbeda dengan yang diharapkan pasien sehingga
pasien tidak menyukai keadaan fisiknya.

• Dengarkan pasien dan keluarga secara aktif, dan akui realitas adanya
perhatian terhadap perawatan, kemajuan dan prognosis.
Rasional : meningkatkan perasaan berarti, memudahkan saran koping, mengurangi
kecemasan.

• Berikan perawatan dengan cara yang tidak menghakimi, jaga privasi dan
martabat pasien.
Rasional : menciptakan suasana saling percaya, meningkatkan harga diri dan perasaan
berarti dalam diri pasien.

3) Koping individu, ketidakefektifan adalah ketidakmampuan membuat penilaian yang tepat terhadap stressor, pilihan respons untuk bertindak secara tidak adekuat, dan atau ketidakmampuan untuk menggunakan sumber yang tersedia.
Tujuan : pasien menunjukkan koping yang efektif.
Kriteria hasil :
- pasien akan menunjukkan minat terhadap aktivitas untuk mengisi waktu luang.
- mengidentifikasikan kekuatan personal yang dapat mengembangkan koping yang efektif.
- menimbang serta memilih diantara alternative dan konsekuensinya.
- berpartisipasi dalam aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS).
• Kaji pandangan pasien terhadap kondisinya dan kesesuaiannya dengan pandangan
pemberi pelayanan kesehatan.
Rasional : mengidentifikasi persepsi pasien terhadap kondisinya.

• Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan.
Rasional : menghindari ketakutan dan menciptakan hubungan saling percaya, memudahkan
intervensi

• Anjurkan pasien untuk mengidentifikasi gambaran perubahan peran yang
realitas.
Rasional : memberikan arahan pada persepsi pasien tentang kondisi nyata yang ada
saat ini.

• Bantu pasien dalam mengidentifikasi respons positif dari orang lain.
Rasional : meningkatkan perasaan berarti, memberikan penguatan yang positif.

• Libatkan sumber-sumber yang ada di rumah sakit dalam memberikan dukungan
emosional untuk pasien dan keluarga.
Rasional : menciptakan suasana saling percaya, perasaan berarti, dan mengurangi
kecemasan.

4) Proses keluarga, perubahan adalah suatu perubahan dalam hubungan dan/atau fungsi keluarga.
Tujuan : pasien dan keluarga memahami perubahan perubahan dalam peran keluarga.
Kriteria hasil :
- pasien/keluarga mampu mengidentifikasi koping.
- paien/keluarga berpartisipasi dalam proses membuat keputusan berhubungan dengan perawatan setelah rawat inap.

• Kaji interaksi antara pasien dan keluarga.
Rasional : mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.

• Bantu keluarga dalam mengidentifikasi perilaku yang mungkin menghambat pengobatan.
Rasional : mempengaruhi pilihan intervensi.

• Diskusikan dengan anggota keluarga tentang tambahan ketrampilan koping yang
digunakan.
Rasional : membantu keluarga dalam memilih mekanisme koping adaptif yang tepat .

• Dukung kesempatan untuk mendapatkan pengalaman masa anak-anak yang normal
pada anak yang berpenyakit kronis atau tidak mampu.
Rasional : memudahkan keluarga dalam menciptakan/memelihara fungsi anggota keluarga.

5) Ketakutan adalah ansietas yang disebabkan oleh sesuatu yang dikenali secara sadar
dan bahaya nyata dan dipersepsikan sebagai bahaya yang nyata.

Tujuan : pasien akan memperlihatkan pengendalian ketakutan.
Kriteria hasil :
- mencari informasi untuk menurunkan ketakutan.
- menggunakan teknik relaksasi untuk menurnkan ketakutan.
- mempertahankan penampilan peran dan hubungan social.

• Kaji respons takut subjektif dan objektif pasien.
Rasional : mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.

• Berikan penguatan positif bila pasien mendemonstrasikan perilaku yang dapat
menurunkan atau mengurangi takut.
Rasional : mempertahankan perilaku koping yang efektif.

• Lakukan pendekatan dan berikan motivasi kepada pasien untuk mengungkapkan
pikiran dan perasaan.
Rasional : pendekatan dan motivasi membantu pasien untuk mengeksternalisasikan
kecemasan yang dirasakan.

• Motivasi pasien untuk memfokuskan diri pada realita yang ada saat ini,
harapan-harapan yang positif terhadap terapy yang di jalani.
Rasional : alat untuk mengidentifikasi mekanisme koping yang dibutuhkan untuk
mengurangi kecemasan.

6) Mobilitas fisik, hambatan adalah suatu keterbatasan dalam kemandirian, pergerakkan fisik yang bermanfaat dari tubuh atau satu ekstremitas atau lebih.
Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Kriteria hasil :
- penampilan yang seimbang..
- melakukan pergerakkan dan perpindahan.
- mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik :
0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat Bantu.
2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran.
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.
4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.

• Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.
Rasional : mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.

• Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
Rasional : mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena
ketidakmampuan ataukah ketidakmauan.

• Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
Rasional : menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.

• Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
Rasional : mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.

• Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
Rasional : sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan
mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien.

Evaluasi
Evaluasi addalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, Christine. 2001).

Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan Pre Operasi Tumor adalah :
1) Ansietas berkurang/terkontrol.
2) Pasien memiliki persepsi yang positif terhadap penampilan dan fungsi tubuh.
3) Pasien menunjukkan koping yang efektif.
4) Pasien dan keluarga memahami perubahan perubahan dalam peran keluarga.
5) Pasien akan memperlihatkan pengendalian ketakutan.
6) Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.

Daftar Pustaka
Boedihartono. 1994. Proses Keperawatan di Rumah Sakit. Jakarta.
Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan. Jakarta : EGC.
Marilynn E. Doenges. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian pasien, ed.3. Jakarta : EGC.
Nasrul Effendi. 1995. Pengantar Proses Keperawatan. EGC : Jakarta.
Robin S.L. dan Kumar V. 1995. Buku Ajar Patologi I. Jakarta : EGC.
Tjakra, Ahmad. 1991. Patologi. Jakarta : Bagian Patologi FKUI
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, edisi 7. EGC : Jakarta.
BENIGNA PROSTAT HYPERTROPI (BPH)


I. PENGERTIAN
BPH (Benigna Prostat Hyperplasi) adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat yang dapat menyebabkan obstruksi dan ristriksi pada jalan urine (urethra).

ETIOLOGI
Mulai ditemukan pada umur kira-kira 45 tahun dan frekuensi makin bertambah sesuai dengan bertambahnya umur, sehingga diatas umur 80 tahun kira-kira 80 % menderita kelainan ini.
Sebagai etiologi sekarang dianggap ketidakseimbangan endokrin. Testosteron dianggap mempengaruhi bagian tepi prostat, sedangkan estrogen (dibuat oleh kelenjar adrenal) mempengaruhi bagian tengah prostat.

TANDA DAN GEJALA
Walaupun hyperplasi prostat selalu terjadi pada orangtua, tetapi tidak selalu disertai gejala-gejala klinik.
Gejala klinik terjadi terjadi oleh karena 2 hal, yaitu :
1. Penyempitan uretra yang menyebabkan kesulitan berkemih.
1. Retensi air kemih dalam kandung kemih yang menyebabkan dilatasi kandung
kemih, hipertrofi kandung kemih dan cystitis.

Gejala klinik dapat berupa :
* Frekuensi berkemih bertambah
* Berkemih pada malam hari.
* Kesulitan dalam hal memulai dan menghentikan berkemih.
* Air kemih masih tetap menetes setelah selesai berkemih.
* Rasa nyeri pada waktu berkemih.

Kadang-kadang tanpa sebab yang diketahui, penderita sama sekali tidak dapat berkemih sehingga harus dikeluarkan dengan kateter.
Selain gejala-gejala di atas oleh karena air kemih selalu terasa dalam kandung kemih, maka mudah sekali terjadi cystitis dan selanjutnya kerusakan ginjal yaitu hydroneprosis, pyelonefritis.

PATOFISIOLOGI
BPH terjadi pada umur yang semakin tua (> 45 tahun ) dimana fungsi testis sudah menurun. Akibat penurunan fungsi testis ini menyebabkan ketidakseimbangan hormon testosteron dan dehidrotesteosteron sehingga memacu pertumbuhan / pembesaran prostat.
Makrokospik dapat mencapai 60 - 100 gram dan kadang-kadang lebih besar lagi hingga 200 gram atau lebih.
Tonjolan biasanya terdapat pada lobus lateralis dan lobus medius, tetapi tidak mengenai bagian posterior dari pada lobus medialis, yaitu bagian yang dikenal sebagai lobus posterior, yang sering merupakan tempat berkembangnya karsinoma (Moore)
Tonjolan ini dapat menekan urethra dari lateral sehingga lumen urethra menyerupai celah, atau menekan dari bagian tengah. Kadang-kadang penonjolan itu merupakan suatu polip yang sewaktu-waktu dapat menutup lumen urethra.
Pada penampang, tonjolan itu jelas dapat dibedakan dengan jaringan prostat yang masih baik. Warnanya bermacam-macam tergantung kepada unsur yang bertambah.
Apabila yang bertambah terutama unsur kelenjar, maka warnanya kung kemerahan, berkonsistensi lunak dan terbatas tegas dengan jaringan prostat yang terdesak, yang berwarna putih keabu-abuan dan padat. Apabila tonjolan itu ditekan maka akan keluar caiaran seperti susu.
Apabila unsur fibromuskuler yang bertambah, maka tonjolan berwarna abu-abu padat dan tidak mengeluarkan cairan seperti halnya jaringan prostat yang terdesak sehingga batasnya tidak jelas.
Gambaran mikroskopik juga bermacam-macam tergantung pada unsur yang berproliferasi. Biasanya yang lebih banyak berproliferasi ialah unsur kelenjar sehingga terjadi penambahan kelenjar dan terbentuk kista-kista yang dilapisi oleh epitel torak atau koboid selapis yang pada beberapa tempat membentuk papil-papil ke dalam lumen. Membran basalis masih utuh.
Kadang-kadang terjadi penambahan kelenjar yang kecil-kecil sehingga menyerupai adenokarsinoma. Dalam kelenjar sering terdapat sekret granuler, epitel yang terlepas dan corpora anylacea.
Apabila unsur fibromuskuler yang bertambah, maka terjadi gambaran yang terjadi atas jaringan ikat atau jaringan otot dengan kelenjar-kelenjar yang letaknya saling berjauhan. Gambaran ini juga dinamai hiperplasi fibrimatosa atau hiperplasi leiomymatosa.
Pada jaringan ikat atau jaringan otot biasanya terdapat serbukan limfosit.
Selain gambaran di atas sering terdapat perubahan lain berupa :
1. Metaplasia skwamosa epitel kelenjar dekat uretra.
1. Daerah infark yang biasanya kecil-kecil dan kadang-kadang terlihat di bawah
mikroskop.

Tanda dan gejala dari BPH adalah dihasilkan oleh adanya obstruksi jalan keluar urin dari kandung kemih

Ada tiga cara pengkuran besarnya hipertropi prostat :

Rectal Grading, yaitu dengan rectal toucher diperkirakan berapa cm prostat yang menonjol ke dalam lumen rektum yang dilakukan sebaiknya pada saat buli-buli kosong.
Gradasi ini adalah :
0 - 1 cm : grade 0
1 - 2 cm : grade 1
2 - 3 cm : grade 2
3 - 4 cm : grade 3
> 4 cm : grade 4
Pada grade 3 - 4 batas prostat tidak teraba. Prostat fibrotik, teraba lebih kecil dari normal.

Clinical Grading, dalam hal ini urine menjadi patokan. Pada pagi hari setelah bangun pasien disuruh kencing sampai selesai, kemudian di masukan kateter ke dalam buli-buli untuk mengukur sisa urine.
Sisa urine 0 cc : normal
Sisa urine 0-50 cc : grade 1
Sisa urine 50-150 cc : grade 2
Sisa urine > 150 cc : grade 3
Tidak bisa kencing : grade 4

Intra Uretral Grading, dengan alat perondoskope dengan diukur / dilihat bebrapa jauh penonjolan lobus lateral ke dalam lumen uretra.


Grade I :
Clinical grading sejak berbulan-bulan, bertahun-tahun, mengeluh kalau kencing tidak lancar, pancaran lemah, nokturia.
Grade II :
Bila miksi terasa panas, sakit, disuria.
Grade III :
Gejala makin berat
Grade IV :
Buli-buli penuh, disuria, overflow inkontinence. Bila overflow inkontinence dibiarkan dengan adanya infeksi dapat terjadi urosepsis berat. Pasien menggigil, panas 40-41* celsius, kesadaran menurun.

Komplikasi :
* Urinary traktus infection
* Retensi urin akut
* Obstruksi dengan dilatasi uretra, hydronefrosis dan gangguan fungsi ginjal.
Bila operasi bisa terjadi :
* Impotensi (kerusakan nevron pudendes)
* Hemoragic paska bedah
* Fistula
* Striktur paska bedah
* Inkontinensia urin

PEMERIKSAAN FISIK
* Urinolisis
* Urine kultur
* Pemeriksaan fisik

PENATALAKSANAAN
Konservatif
Obat-obatan : Antibiotika, jika perlu.
Self Care :
* Kencing dan minum teratur.
* Rendam hangat, seksual intercourse

Pembedahan
* Retropubic Prostatectomy
* Perineal Prostatectomy
* Suprapubic / Open Prostatectomy
* Trans Uretrhal Resectio (TUR), yaitu : Suatu tindakan untuk menghilangkan obstruksi prostat dengan menggunakan cystoscope melalui urethra. Tindakan ini dlakukan pada BPH grade I.
Kontraindikasi tindakan pembedahan :
Orangtua dengan :
* Decompensasi kordis
* Infark jantung baru
* Diabetes militus
* Malnutrisi berat
* Dalam keadaan koma
* Tekanan darah sistol 200 - 260 mmHg.

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pasien post TUR Prostat :
* Drainase urine, meliputi : kelancaran, warna, jumlah, cloting.
* Kebutuhan cairan : minum adekuat (* 3 liter/hari)
* Program “Bladder Training” yaitu latihan kontraksi otot-otot perineal selama 10 menit, dilakukan 4 kali sehari.
Dan menentukan jadwal pengosongan kandung kemih: Bokong pasien diletakkan di atas stekpan / pispot atau pasien diminta ke toilet selama 30 menit - 2 jam untuk berkemih.
* Diskusikan pemakaian kateter intermiten.
* Monitor timbul tanda-tanda infeksi (Kalor, Dolor, Rubor, Tumor, Fungsilaesa)
* Rawat kateter secara steril tiap hari. Pertahankan posisi kateter, jangan sampai tertekuk.
* Jelaskan perubahan pola eliminasi dan pola seksual.
* Fungsi normal kandung kemih akan kembali dalam waktu 2 -3 minggu, namun dapat juga sampai 8 bulan yang perlu diikuti dengan latihan perineal / Kegel Exercise.

PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Sirkulasi :
* Peningkatan tekanan darah (efek lebih lanjut pada ginjal )
1. Eliminasi :
* Penurunan kekuatan / kateter berkemih.
* Ketidakmampuan pengosongan kandung kemih.
* Nokturia, disuria, hematuria.
* Duduk dalam mengosongkan kandung kemih.
* Kekambuhan UTI, riwayat batu (urinary stasis).
* Konstipasi (penonjolan prostat ke rektum)
* Masa abdomen bagian bawah, hernia inguinal, hemoroid (akibat peningkatan tekanan abdomen pada saat pengosongan kandung kemih)
2. Makanan / cairan:
* Anoreksia, nausea, vomiting.
* Kehilangan BB mendadak.
3. Nyeri / nyaman :
* Suprapubis, panggul, nyeri belakang, nyeri pinggang belakang, intens (pada prostatitis akut).
4. Rasa nyaman : demam
5. Seksualitas :
* Perhatikan pada efek dari kondisinya/tetapi kemampuan seksual.
* Takut beser kencing selama kegiatan intim.
* Penurunan kontraksi ejakulasi.
* Pembesaran prostat.
6. Pengetahuan / pendidikan :
* Riwayat adanya kanker dalam keluarga, hipertensi, penyakit gula.
* Penggunaan obat antihipertensi atau antidepresan, antibiotika / antibakterial untuk saluran kencing, obat alergi.

RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN BPH

NO. DIAGNOSA KEPERAWATAN TUJUAN RENCANA TINDAKAN
1. Perubahan pola eliminasi urin ; sehubungan dengan :
* Mekanisme obstruksi : bekuan darah, edem, truma, prosedur pem-bedahan.
* Tekanan dan iritasi kateter / balon
* Kehilangan tonus kandung kemih aki bat over distersi pada preoperasi atau dekom-presi terus-menerus.
ditandai dengan :
* Sering kencing, dys uria, inkontinensia, retensi urin.
* Blas penuh, supra-pubis tidak nyaman.
Tujuan : Jumlah urine normal dan tanpa retensi.

Kriteria :
1. Klien mampu mengosongkan kandung kencing setiap 2 - 4 jam.
2. Klien mampu me-lakukan perineal exercise.
3. Klien B.a.k 1500 cc / 24 jam.
* Kaji pengeluaran urine dan sistem drainage atau kateter terutama selama
blader irigasi.
* Kaji kemampuan klien untuk mengosongkan kandung kemih contoh, berapa kali
klien ke kamar mandi untuk buang air kecil.
* Catat waktu, jumlah, ukur an, urine setelah kateter diangkat.
* Anjurkan klien untuk mengo-songkan kandung kemih setiap 2 - 4 jam.
* Anjurkan klien banyak minum 2500 - 3000 cc per hari jika tidak ada kontra
indikasi. Kurangi minum pada malam hari setelah keteter dilepaskan.
Anjurkan klien untuk perineal exercise, contoh dengan mengerutkan bokong,
menahan urine, baru mengalirkan urine.

2. Resiko tinggi untuk kekurangan volume cairan : sehubungan dengan :
* Perdarahan pada area pembedahan
* Pembatasan intake preoperasi.

ditandai dengan :
* Post TUR Prostat hari ke II
Masih terpasang kateter dan irigasi drip NaCl 0,9 %

Tujuan : Kebutuhan cairan klien terpenuhi.
* Kriteria : Jumlah cairan yang masuk dan keluar seimbang
Catat cairan yang masuk dan keluar tiap 8 jam dan total dalam 24 jam.
* Kaji mukosa mulut dan kekenyalan kulit.
* Observasi tanda vital tiap 4 jam atau sesuai kebutuhan.
* Berikan cairan peroral atau infus sesuai program medik
( 2500 - 3000 cc / 24 jam ).

3. Resiko tinggi untuk infeksi : sehubungan dengan :
* Prosedur invasif, instrumentasi sela-ma operasi, kateter, seringnya irigasi
kandung kemih.
* Jaringan traumatik, insisi bedah.
* Refluk urine ke dalam kandung kemih.
* Terbukanya sistem drainage urine.

ditandai dengan :
* Post TUR Prostat hari ke II
* Masih terpasang kateter dengan irigasi drip NaCl 0,9 %.
Tujuan : klien terhindar dari re-siko infeksi salur an kemih.
Kriteria :
* Tanda vital dalam keadaan normal.
* Urine bersih dan jernih.
* Tidak terasa nyeri.
* Memasang dan melepaskan kateter dengan cara aseptik dan antiseptik.
* Rawat kateter dengan tehnik aseptik dan antiseptik.
* Cegah terjadinya refluks urine yaitu kembalinya urine ke kandung kemih.

Dengan cara : menggantung urine bag lebih rendah dari kandung kemih
Dan klem kateter bila akan memindahkan klien.

* Gunakan tehnik aseptik pada saat mengosongkan urine bag.
* Ganti kateter setiap 7 - 10 hari dengan tehnik aseptik .
* Irigasi kateter dilakukan dengan tehnik aseptik dan antiseptik
* Anjurkan klien banyak minum 2500 cc - 3000 cc / hari bila tidak ada kontra
indikasi
* Mengukur / mengamati tanda kardinal klien setiap 4 jam atau sesuai
kebutuhan.
* Kolaborasi dengan Tim medis untuk penberian antibiotik atau pemeriksaan
diagnostik
* 4. Nyeri akut : sehubungan dengan :
* Iritasi mukosa kandung kemih.
* Spasme otot sehubungan dengan prosedur operasi atau penekanan dari balon
(traksi)
* ditandai dengan :
* Dilaporkannya adanya nyeri pada pangkal alat kelamin dari perut bagian bawah.
* Wajah meringis kesakitan.
* Respon autonomik

Tujuan : nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan.
Kriteria :
* Klien dapat mengontrol nyeri dengan menggunakan skala nyeri 1 - 10
* Klien tampak rileks.
* Klien dapat beristirahat dengan tenang Kaji intensitas nyeri dengan skala
1- 10.
* Fiksasi kateter dengan cara yang tepat agar tetap stabi sehingga tidak
menimbulkan gesekan baru pada mukosa urethra.
* Fiksasi selang urine pada alat tenun disamping klien dengan menggunakan
peniti atau klem yang telah tersedia pada set urine bag.
* Gunakan kateter menetap dengan nomor atau ukuran yang sesuai agar tidak
menimbulkan iritasi pada urethra.
* Anjurkan pada klien untuk tehnik relaksasi dengan cara menarik napas panjang
dan menghembuskannya.
* Hindari gerakan atau tarikan mendadak pada selang kateter untuk menghindari
trauma baru pada urethra.
* Kempiskan balon kateter sampai habis sebelum melepaskan kateter dan
keluarkan kateter secara perlahan.
Kolaborasi pemberian analgetik dengan medik bila diperlukan.

5. Resiko tinggi untuk disfungsi seksual: sehubungan dengan :

* Situasi krisis (inkontinensia, kondisi area genital)
* Perubahan status kesehatan.
ditandai dengan :
* Pola berkemih saat ini lewat kateter.
* Post TUR Prostat hari ke II (kemungkinan ada kerusakan N> Pudendus)
Tujuan : klien dapat menerima dan beradaptasi terhadap keadaannya.
Kriteria :
* Klien tampak rileks.
* Klien menyatakan cemas berkurang.

* Diskusikan bersama klien tentang anatomi dan fisiologi fungsi seksual secara
singkat.
* Jelaskan pada klien tentang tujuan dan manfaat pemakaian kateter yang
menetap.
* Anjurkan klien untuk berdialog dengan sesama klien yang menggunakan kateter.
* Berikan kesempatan pada klien untuk saling mengungkapkan perasaan dengan
pasangannya.

Ciptakan suasana humor pada saat merawat klien. Bila perlu konsulkan pada psikolog atau seksolog.


DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan pada pasien post TUR Prostat adalah sebagai berikut :

1. Perubahan pola eliminasi uri ; sehubungan dengan :
* Mekanisme obstruksi : bekuan darah, edem, truma, prosedur pembedahan.
* Tekanan dan iritasi kateter / balon
* Kehilangan tonus kandung kemih akibat over distersi pada preoperasi atau
dekompresi terus-menerus.

ditandai dengan :
* Sering kencing, dysuria, inkontinensia, retensi urin.
* Blas penuh, suprapubis tidak nyaman.

Tujuan : Jumlah urine normal dan tanpa retensi.
Kriteria :
1. Klien mampu mengosongkan kandung kencing setiap 2 - 4 jam.
2. Klien mampu melakukan perineal exercise.
3. Klien B.a.k 1500 cc / 24 jam.

Intervensi
* Kaji pengeluaran urine dan sistem drainage atau kateter terutama selama
blader irigasi.
* Kaji kemampuan klien untuk mengosongkan kandung kemih contoh, berapa kali
klien kekamar mandi untuk buang air kecil.
* Catat waktu, jumlah, ukuran, urine setelah kateter diangkat.
* Anjurkan klien untuk mengosongkan kandung kemih setiap 2 - 4 jam.
* Anjurkan klien banyak minum 2500 - 3000 cc per hari jika tidak ada kontra
indikasi. Kurangi minum pada malam hari setelah keteter dilepaskan.
* Anjurkan klien untuk perineal exercise, contoh dengan mengerutkan bokong,
menahan urine, baru mengalirkan urine.

2. Resiko tinggi untuk kekurangan volume cairan : sehubungan dengan :
* Perdarahan pada area pembedahan
* Pembatasan intake preoperasi.
ditandai dengan :
* Post TUR Prostat hari ke II
* Masih terpasang kateter dan irigasi drip NaCl 0,9 %

Tujuan : Kebutuhan cairan klien terpenuhi.
Kriteria : Jumlah cairan yang masuk dan keluar seimbang.

Intervensi :
* Catat cairan yang masuk dan keluar tiap 8 jam dan total dalam 24 jam.
* Kaji mukosa mulut dan kekenyalan kulit.
* Observasi tanda vital tiap 4 jam atau sesuai kebutuhan.
* Berikan cairan peroral atau infus sesuai program medik ( 2500 - 3000 cc / 24
jam ).

3. Resiko tinggi untuk infeksi : sehubungan dengan :
* Prosedur invasif, instrumentasi selama operasi, kateter, seringnya irigasi
kandung kemih.
* Jaringan traumatik, insisi bedah.
* Refluk urine ke dalam kandung kemih.
* Terbukanya sistem drainage urine.

ditandai dengan :
* Post TUR Prostat hari ke II
* Masih terpasang kateter dengan irigasi drip NaCl 0,9 %.

Tujuan : klien terhindar dari resiko infeksi saluran kemih.
Kriteria :
- Tanda vital dalam keadaan normal.
- Urine bersih dan jernih.
- Tidak terasa nyeri.
Intervensi :
* Memasang dan melepaskan kateter dengan cara aseptik dan antiseptik.
* Rawat kateter dengan tehnik aseptik dan antiseptik.
* Cegah terjadinya refluks urine yaitu kembalinya urine ke kandung kemih

Dengan cara : menggantung urine bag lebih rendah dari kandung kemih. Dan klem kateter bila akan memindahkan klien.

* Gunakan tehnik aseptik pada saat mengosongkan urine bag.
* Ganti kateter setiap 7 - 10 hari dengan tehnik aseptik .
* Irigasi kateter dilakukan dengan tehnik aseptik dan antiseptik
* Anjurkan klien banyak minum 2500 cc - 3000 cc / hari bila tidak ada kontra
Indikasi.
* Mengukur / mengamati tanda kardinal klien setiap 4 jam atau sesuai
kebutuhan.
* Kolaborasi dengan Tim medis untuk penberian antibiotik atau pemeriksaan
diagnostik
3. Nyeri akut : sehubungan dengan :
* Iritasi mukosa kandung kemih.
* Spasme otot sehubungan dengan prosedur operasi atau penekanan dari balon
(traksi)

ditandai dengan :
* Dilaporkannya adanya nyeri pada pangkal alat kelamin dari perut bagian bawah.
* Wajah meringis kesakitan.
* Respon autonomik

Tujuan : nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan.
Kriteria :
* Klien dapat mengontrol nyeri dengan menggunakan skala nyeri 1 - 10
* Klien tampak rileks.
* Klien dapat beristirahat dengan tenang.

Intervensi :
* Kaji intensitas nyeri dengan skala 1- 10.
* Fiksasi kateter dengan cara yang tepat agar tetap stabi sehingga tidak
menimbulkan gesekan baru pada mukosa urethra.
* Fiksasi selang urine pada alat tenun disamping klien dengan menggunakan
peniti atau klem yang telah tersedia pada set urine bag.
* Gunakan kateter menetap dengan nomor atau ukuran yang sesuai agar tidak
menimbulkan iritasi pada urethra.
* Anjurkan pada klien untuk tehnik relaksasi dengan cara menarik napas panjang
dan menghembuskannya.
* Hindari gerakan atau tarikan mendadak pada selang kateter untuk menghindari
trauma baru pada urethra.
* Kempiskan balon kateter sampai habis sebelum melepaskan kateter dan
keluarkan kateter secara perlahan.
* Kolaborasi pemberian analgetik dengan medik bila diperlukan.

5. Resiko tinggi untuk disfungsi seksual: sehubungan dengan :
* Situasi krisis (inkontinensia, kondisi area genital)
* Perubahan status kesehatan.

ditandai dengan :
* Pola berkemih saat ini lewat kateter.
* Post TUR Prostat hari ke II (kemungkinan ada kerusakan N> Pudendes)

Tujuan : klien dapat menerima dan beradaptasi terhadap keadaannya.
Kriteria :
* Klien tampak rileks.
* Klien menyatakan cemas berkurang.

Intervensi :
* Diskusikan bersama klien tentang anatomi dan fisiologi fungsi seksual secara
singkat.
* Jelaskan pada klien tentang tujuan dan manfaat pemakaian kateter yang
menetap.
* Anjurkan klien untuk berdialog dengan sesama klien yang menggunakan kateter.
* Berikan kesempatan pada klien untuk saling mengungkapkan perasaan dengan
pasangannya.
Ciptakan suasana humor pada saat merawat klien. Bila perlu konsulkan pada psikolog atau seksolog.

6. Kurangnya pengetahuan: sehubungan dengan :
* Misinterpretasi informasi
* Tidak familiar dengan informasi yang ada.
ditandai dengan :
* Sering bertanya
* Menanyakan ulang informasi
* Kondisi miskonsepsi
* Menunjukkan secara verbal masalahnya.
* Tidak adekuat dalam mengikuti instruksi.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pengetahuan klien meningkat
Kriteria :
* Klien memahami tentang : pengertian, tanda dan gejala, prognosa, perawatan
dan pengobatan
Intervensi :
* Kolaborasi dengan medik untuk menjelaskan pada klien tentang pengertian,
tanda dan gejala, prognosa serta pengobatan
* Diskusi bersama klien untuk mencegah infeksi saluran kemih
* Diskusikan tentang cara mempertahankan aliran urin
* Diskusikan cara mempertahankan volume cairan tubuh

7. Potensial terjadinya sumbatan/obstruksi aliran urin sehubungan dengan :
* Penyumbatan lubang /lumen kateter selang urin karena endapan urine atau
bekuan darah
* Tertekuk atau terpelintirnya kateter

Tujuan : Kelancaran aliran urine dapat dipertahankan
Kriteria :
* Urine keluar lancar, 1500 cc/24 jam
Intervensi :
* Jaga kateter atau selang urine tidak tertekuk/terpelintir
* Gantung urine bag lebih rendah dari kandung kemih
* Bila selang urine terlalu panjang, gulung dan difiksasi diatas tempat tidur
disamping klien
* Lakukan irigasi kateter bila macet (kolaborasi dengan dokter)
* Berikan cairan peroral atau infus 2500 - 5000 cc/24 jam
(kolaborasi dengan dr)


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Alfaro, R. (1986). Application of Nursing Proces : Step by Step Guide, Philadelphia : J.B. Lipincot Company.

Donna D. Ignatavius, Kathy A.H, (1997), Medical Surgical Nursing, 2nd Edition, W.B. Saunders Co., Philadelphia.

Doenges M.E. (1989), Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed ), . Philadelpia, F.A. Davis Company.

Luckmann, J (1997), Saunders Manual Of Nursing Care, W.B. Saunders Co, Philadelphia.

Long; BC and Phipps WJ (1985) Essential of Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach, St. Louis. Cv. Mosby Company.

Luckman N Sorensen, (1994), Medical Surgical Nursing, Fourth edition, W.B. Saunders Co., Philadelphia.

Sjamsu, R. Hidajat, Wim de Jong, (1997), Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta.

Staf Pengajar FK- UI ( Bagian Bedah ), (1995), Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Bina Rupa Aksara, Jakarta.
Patofisiologi


Perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan hestrogen.
*
Testosteron bebas + enzim 5 * reduktase
*
Dihodrolisis * Dehidro Testosteron (DHT)

Diikat reseptor ( dalam sitoplasma sel prostat)
*
DHT - Reseptor * Inti Sel


Mempengaruhi RNA

* sintesa protein

Proliferasi sel


Pembesaran prostat

*

Rangsangan pada V U * Sering berkontraksi
meski belum penuh



Vesika dekompensasi
Retensio urine ( residu urine )
Rasa tidak puas (tuntas pada akhir







Patofisiologi


Trauma langsung / benturan pada tulang
*

Edema
Perdarahan
gangguan pada

*

Tulang Pembuluh darah Saraf

*

Manifestasi klinik :


* Keterbatasan gerak
* Gangguan sirkulasi : Tachikardi
Hipertensi
Hipotensi
* Gangguan neuro sensori : hilang rasa
spasme
otot
* Nyeri
* Gangguan integritas jaringan











Patofisiologi

Trauma pada kepala

*
Akselerasi
Deselerasi
Rotasi
*

1. Perdarahan : Extra dural
Sub dural
Intra cerebral

2. Edema cerebral : meningkatkan tekanan
intra kranial ------- hipoksia cerebral

3. Keluarnya cairan serebro spinal

4. Lokal infeksi